Catatan :

Gambar Palu Arit, Kuntilanak yang Mencederai Akal Sehat Kita

Gambar Palu Arit, Kuntilanak yang Mencederai Akal Sehat Kita


Oleh: Heru Margianto
Komunisme boleh saja dilawan (dan menurut saya harus dilawan). Caranya adalah dengan mengetahuinya. Bagaimana kita dapat mengambil sikap terhadap salah satu gerakan politik paling berpengaruh di abad ke-20 apabila dasar-dasar politiknya tidak dapat kita kritik? Bagaimana kita dapat mengkritik apabila kita tidak mengerti apa yang mau kita kritik?
-Franz Magnis Suseno
akarnews – Kenapa gambar palu arit dan kata “PKI” begitu menakutkan di benak banyak orang Indonesia? Apakah ketakutan itu beralasan atau tidak beralasan? Atau cuma ilusi yang diproduksi oleh kekuatan yang pernah berkuasa?
Atau, kita takut karena ketidaktahuan kita dan semata-mata disuruh untuk takut? Persis seperti ketakutan kita pada kuntilanak yang sesungguhnya kita tidak pernah tahu tentangnya dan banyak orang takut meski tidak pernah melihatnya sama sekali. Ketakutan Indonesia akan gambar palu arit seperti ketakutan kita pada kuntilanak.
Gambar palu arit seolah menjadi phobia, paluaritphobia, rasa takut berlebihan tanpa alasan terhadap gambar palu arit. Kalaulah dikemukakan alasannya, sulit sekali kita mecernanya dengan akal sehat. Phobia khas Indonesia.
Saya punya teman, seorang laki-laki berbadan kekar, yang sangat takut dengan kupu-kupu (mottephobia). Motte adalah bahasa latin yang berarti kupu-kupu.
Saya heran bukan kepalang. Apa yang perlu ditakuti dari seekor kupu-kupu? Bukankah kupu-kupu itu lucu dan indah. Lagipula, dengan badan kekarnya, kupu-kupu itu bakal langsung tewas sekali injak. Tapi itulah phobia, ketakutan berlebih yang menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita.
Aparatur negara dan sebagian masyarakatnya di negeri ini dihinggapi phobia itu setiap kali melihat gambar palu arit. Alasannya selalu sama, logo palu arit yang beredar adalah tanda-tanda kebangkitan PKI.
Beberapa hari lalu seorang pedagang kaos di Blok-M, Jakarta, diciduk polisi karena kedapatan menjual kaos band thrash metal, Kreator, karena ada gambar palu arit di kaos itu. Ia dicurigai hendak membangkitkan gerakan PKI di Indonesia. Tidakkah Anda gemas ingin meremas pipi pak polisi kita? Iiiihhh….lutuna lutuna pak polisi.
Sebelumnya, di Bandar Lampung, seorang pemuda ditangkap Pak Tentara dari Korem 043/Gatam karena mengenakan kaus merah bergambar palu arit serta bertuliskan “CCCP”. Dia diamankan saat tengah mengikuti konser musik di Lapangan Saburai.
Awal tahun ini, di Magelang, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kota Magelang terpaksa minta maaf karena angka 43 yang menjadi penanda HUT PDI Perjuangan digambar mirip (iya cuma mirip) palu arit.
Ada lagi yang lebih “ajaib”. Sebuah ormas yang aksinya diamini polisi menolak pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Jakarta dan Yogyakarta karena dianggap menyebarkan paham komunisme.

image

Ini adalah film dokumenter yang menuturkan kisah Hesri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono, dua orang yang pernah ditahan di Pulau Buru sejak 1969 hingga 1978. Dua orang ini datang kembali ke pulau itu dan berkisah tentang masa-masa mereka menjalani kehidupan di sana.
Tontonlah film ini di youtube, kalau perlu berulang kali, dan coba jelaskan di mana propaganda komunisme dalam film tersebut?
Ada juga cerita “ajaib” lain di tahun lalu. Film “Senyap” yang disutradarai Joshua Oppenheimer dilarang diputar di sejumlah kota di Indonesia karena alasan yang sama: berisi propaganda komunisme.
Ini juga film dokumenter yang berkisah tentang salah seorang keluarga penyintas yang mencari informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pembunuhan anggota keluarganya.
Lagi, tontonlah di youtube, kalau perlu berulangkali, coba jelaskan di mana propaganda komunisme dalam film itu?
Tak pernah ada penjelasan yang memuaskan akal sehat kita tentang hubungan gambar palu arit atau mirip palu arit dan film-film itu dengan kebangkitan paham komunisme (yang notabene sudah bangkrut sebagai ideologi).
Film-film itu hanya ingin menyajikan sebuah kisah yang selama ini tak pernah disuarakan karena intimidasi yang luar biasa selama rezim Orde Baru. Intimidasi akut berkepanjangan itu menyisakan “radang di otak” di kepala kita sehingga kita takut untuk menonton sesuatu yang tidak perlu ditakuti.
Hegemoni Orde Baru
Ketakutan yang masih hidup hingga kini di balik kata PKI, komunisme, dan gambar palu arit tak lebih dari keberhasilan hegemoni rezim orde baru atas alam bawah sadar kita sebagai bangsa bahwa PKI yang menganut paham komunisme itu bersalah atas peristiwa 30 September.

image

Hegemoni merupakan penguasaan yang dicapai satu kelompok atas kelompok lain tanpa kekerasan atau paksaan melainkan dengan kesadaran dan kerelaan.
Dalam hal ini, negara yang dikuasai oleh rezim Orde Baru menginfiltrasi kesadaran kita untuk menerima dengan “sukarela” narasi tentang PKI versi negara.
Negara menggunakan seluruh perangkatnya (aturan hukum, militer, polisi, media, dan aparatur negara lainnya) untuk menanamkan kisah versi negara tentang peristiwa kelam 1965.
“Kebenaran” versi negara tentang peristiwa 65 tertuang dalam buku putih berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya”.
Dalam buku itu disebut PKI sebagai partai melakukan kudeta ingin merebut kekuasaan dengan cara membunuh tujuh jenderal Angkatan Darat. Oleh karena itu, negara menyebut peristiwa tersebut sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.
Narasi versi negara tersebut termuat dalam buku-buku pelajaran sekolah. Di zaman Orde Baru, anak-anak sekolah diwajibkan menonton film G30S/PKI saat film itu pertamakali diputar di bioskop. Film ini terus diputar di televisi setiap tanggal 30 September.
Apakah betul begitu cerita tentang peristiwa 30 September? Tidak sependapat dengan versi pemerintah bukan sebuah “dosa”.

Sejarah yang Gelap

image

Benedict Anderson dan Ruth McVey, Indonesianis Cornell University, Amerika, menuturkan kisah lain. Studi akademik yang tertuang dalam buku A Preliminary Analysis of The October 1, 1965: Coup in Indonesia  yang dikenal sebagai Cornell’s Paper itu  menyimpulkan, PKI sama sekali tidak terlibat dalam peristwa itu. Malah disebut, PKI dan Presiden Soekarno adalah korban.
Menurut studi tersebut, peristiwa 65 meletus sebagai dampak persoalan internal yang terjadi di Angkatan Darat. Pemicunya adalah kesenjangan sosial antara pimpinan tentara di daerah dan mereka yang berada dekat dengan pusat kekuasaan.
Ada pula versi lain yaitu dua penelusuran yang dilakukan John Hughes dan Antonie Dake. Hughes adalah seorang wartawan Amerika yang memenangkan Pulitzer atas liputannya tentang Indonesia. Ia menulis buku The End of Soekarno.
Sementara, penulis asal Belanda menulis The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of a Defeat. Buku yang disebut terakhir dapat Anda unduh gratis di internet.
Keduanya menuding Soekarno sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Menurut mereka, Soekarno memberi restu kepada Untung untuk melakukan Gerakan 30 September. Keluarga Soekarno marah atas tudingan itu.
Ada pula versi lain yang menyebut keterlibatan badan intelijen Amerika (CIA) di balik peristiwa 65. Pandangan ini dikemukakan Bradley Simpson, sejarawan Princeton University dalam makalahnya The International Dimensions of the Mass Killings in Indonesia, 1965-1966. Dia mengunggah makalahnya di situs academia.edu. Bisa diunduh gratis.
Menurut Simpson, dalam peta geopolitik global saat itu ketika dua ideologi besar dunia yaitu komunisme dan demokrasi tengah saling berebut pengaruh, Amerika punya kepentingan agar Indonesia tidak jatuh dalam ideologi komunisme. Amerika punya kepentingan ekonomi atas Indonesia.
Apa artinya beragam studi tersebut? Artinya, peristiwa 65 tidak sepenuhnya terang benderang. Ada kebenaran yang gelap dan tidak terlihat yang hingga sekarang menyisakan tanya.
Tragedi Kemanusiaan
Satu-satunya kepastian yang bisa kenang, dan itu menjadi luka bangsa, adalah terjadi konflik horisontal yang luar biasa dahsyat pasca-30 September.
Sebuah tragedi kemanusiaan, pembunuhan atas ribuan, ratusan ribu, atau malah jutaan orang di Indonesia. Soal angka ini pun terus diperdebatkan hingga kini. Negara melalui aparatnya terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Lebih dari itu, kepastian lain yang menyisakan luka adalah rentang panjang diskriminasi sosial sepanjang 32 tahun kekuasaan orde baru.
Diskriminasi sosial ini merupakan produk hukum resmi negara membentuk lembaga Litsus dan Bakorstanas melalui Keputusan Presiden. Korbannya adalah warga negara Indonesia yang tidak mengerti, apalagi terlibat, dalam Gerakan 30 September.
Tulisan ini tidak bermaksud mengamini tumbuh suburnya ideologi Marxisme /Komunisme/ Leninisme yang dalam sejarah dunia terbukti gagal dan bangkrut. Hanya orang tidak waras yang masih mempertaruhkan nyawanya untuk memperjuangkan ideologi ini.
Ketetapan negara dalam bentuk produk hukum TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU No. 27 Tahun 199 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara patut dihargai.
Tulisan ini ingin mengkritik akal sehat negara dan sebagian masyarakatnya dalam menerapkan produk hukum itu.

Marx dan Lenin
image

Apa yang diharapkan dari sebuah ideologi yang terbukti gagal? Pula, alasan rasional apa yang melatarbelakangi ketakutan kita atas ideologi yang bangkrut itu?
Demokrasi dan kapitalisme dengan segala kritiknya jauh lebih nyaman dan melenakan dibanding komunisme.
Cerita tentang gerakan komunisme dunia berangkat dari gagasan Karl Marx yang mengklaim telah menemukan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan membuka rahasia perekonomian kapitalis.
Sejatinya komunisme tidak sama dengan Marxisme. Awalnya, komunisme adalah sebuah cita-cita utopis atas suatu bentuk masyarakat yang tidak memiliki hak pribadi. Semua dimiliki bersama. (Adakah yang rela?).
Sementara, Marxisme adalah pembakuan atas gagasan-gagasan Marx tentang sistem masyarakat. Menurut Marx, karena beragam kontradiksi dalam sistem kapitas lahirlah kelas yang disebut proletariat, sebuah kelompok masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi.
Watak dari kelas yang memiliki alat produksi atau pemilik modal (pemilik pabrik misalnya) adalah menindas mereka yang tidak memiliki alat produksi (buruh atau kaum pekerja).
Marx meramalkan, adalah keniscayaan sejarah bahwa suatu saat kelas ini akan melakukan pemberontakan dan menciptakan masyarakat tanpa kelas karena tertekan oleh watak penindasan kaum pemilik alat produksi.
Di tangan Vladimir Ilyich Ulyanov yang populer dikenal sebagai Lenin, komunisme atau juga disebut komunisme internasional menjadi sebuah gerakan, kekuatan politik, dan ideologi partai-partai komunis di seluruh dunia. Marxisme merupakan salah satu komponen dalam ajaran komunis yang juga dikenal sebagai Marxisme Leninisme.
Ini bagian pentingnya: baik Marx dan Lenin membayangkan sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, gemah ripah loh jinawi, adil dan makmur. Bagi mereka, masyarakat dalam struktur kelas adalah salah satu biang keladi tidak tercapainya kesejahteraan.
Lenin kemudian mewujudkan “ramalan” Marx menjadi nyata ketika melakukan revolusi Oktober 1917 dan merebut kekuasaan di Russia. Dengan tangan besi, Lenin membangun suatu masyarakat yang benar-baru baru.
Kekuasaan di bawah Lenin menghapus kepemilikan pribadi atas semua bank, menutup semua usaha produktif dan pasar.
Ia juga memusnahkan kelas bangsawan, membagi-bagikan tanah kepada para petani untuk kemudian mengubahnya menjadi koperasi negara yang menimbulkan perlawan sengit dari petani, dan mematahkan dominasi insitusi agama. Segala perlawanan atas kebijakan negara ditumpas. Lima juta orang mati dalam tiga tahun.
Pasca-revolusi Oktober, Russia yang kemudian berubah nama menjadi Uni Soviet menjadi pusat komunisme internasional yang terus berupaya mengembangkan pengaruhnya di dunia dan berhadap-hadapan dengan Amerika Serika yang mengusung paham demokrasi dan kapitalisme.

image
Franz Magnis Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsafatn (STF) Driyarkara yang menulis buku “Dalam Bayangan Lenin” menyebut, di puncak kejayaannya, komunisme membawahi sepertiga umat manusia, dari pesisir barat Samudera Pasifik sampai ke Sungai Elbe, dari Lingkaran Kutub Utara sampai ke Himalaya dan Kaukasus, bahkan sampai ke Laut Merah dan Selatan Afrika.
Sedikit soal Franz Magnis. Ia pernah dicap PKI oleh sekelompok orang hanya karena menulis buku “Pemikiran Karl Marx”. Ia didemo. Bukunya dibakar.
Pada Franz Magnis selayaknya disematkan ucapan terima kasih karena berani secara sembunyi-sembunyi di masa orde baru mengajar soal Marxisme di kelas yang dia ampu di STF Driyarkara. Gagasan Marx didiskusikan dan dikritisi secara terbuka.
Justru keterbukaan seperti itulah yang melahirkan perilaku waras yang tidak mencederai akal sehat kita. Mencap Franz Magnis sebagai PKI hanya karena mengajar dan menulis soal Marxisme adalah kedunguan luar biasa. Mempelajari sesuatu berbeda dengan menganutnya.
Kegagalan Komunisme
Kembali pada komunisme, pertanyaannya kemudian, apakah cita-cita akan masyarakat yang adil makmur itu terwujud dalam sisitem pemerintahan komunis?
Tidak. Eksperimen terbesar dalam sejarah umat manusia untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam paham komunisme gagal total. Kesejahteraan tak mewujud.
Dalam bukunya Franz Magnis mencatat, lebih dari 100 juta orang mati sebagai korban komunisme dalam rentang waktu 62 tahun (1917 sampai kejatuhan rezim Khmer Merah di Kamboja 1979), 20 juta di antaranya di Uni Soviet, 15 juta dari angka 20 juta itu terjadi di bawah pemerintahan Stalin yang meneruskan kekuasaan Lenin.
Yang terjadi adalah sebuah ironi. Tragedi kemanusiaan tak terperi di abad 20 itu terjadi atas nama ideologi yang dicita-citakan membawa kebebasan dan kebahagiaan umat manusia.
9 November 1989 tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat runtuh, menandai berakhirnya rezim komunis Jerman Timur dan reunifikasi Jerman setahun kemudian.
image
Goncangan besar terhadap komunisme internasional terjadi pada 1991 ketika Uni Soviet meninggal dalam tenang. Negeri adidaya itu runtuh, porak poranda.
Hanya sejumlah kecil negara di dunia yang masih melandaskan dirinya pada ideologi komunisme, di antaranya Korea Utara, China, Kuba, dan Vietnam. China meski berbentuk komunis dan peran negara begitu kuat di sana, praktiknya sangat kapitalis.
Sulit sekali membayangkan ideologi komunisme yang serba tertutup itu bisa kembali hidup di tengah peta politik dan ekonomi antarnegara yang saat ini saling kait mengkait dengan begitu kuat.
Bapak tentara yang terhormat, aparat negara tercinta, dan Bapak Jokowi terkasih, komunisme memang sungguh tak layak dianut.
Untuk menunjukkan bahwa komunisme itu tidak layak dianut bukan dengan phobia menghadapi gambar palu arit dan menutup mata publik atas cerita tersembunyi peristiwa 1965, tapi justru membuka ruang seluas-luasnya agar masyarakat bisa berkenalan, berdiskusi, dan mengkritisi apa itu komunisme.
Negara seharusnya memberi jaminan pada masyarakat agar diskusi dan pemutaran film seputar soal-soal ini berlangsung secara aman tanpa intimidasi pembubaran. Yang harus dibela polisi adalah diskursus terbuka di ruang-ruang publik, bukan kelompok masyarakat yang ingin membubarkan ruang-ruang diskursus itu.
Pembodohan tidak pernah memajukan sebuah bangsa. Cara melawan pembodohan adalah memenuhi hak masyarakat atas informasi. Seperti kata Franz Magnis di atas, cara melawan komunisme adalah mengetahuinya, bukan menyembunyikannya.
Heru Margianto
News Assistant Managing Editor Kompas.com. Meniti profesi sebagai jurnalis online di Kompas.com sejak tahun 2000. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 
Comments
0 Comments


EmoticonEmoticon