Media Andesdi - Ulee Balang
atau Hulu Balang dalam kerajaan Melayu merupakan struktur paling
penting pada kerajaan Aceh. Ulee Balang merupakan pemimpin yang memimpin
kenegerian atau nanggroe (setingkat dengan kabupaten) dalam struktur
pemerintahan Aceh. Bangsawan Aceh ini digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki dan Cut
untuk perempuan. Kerajaan Aceh menganut sistem monarki absoulut yang
meletakkan pemerintahannya secara turun temurun, begitu juga halnya
dengan pemerintahan Ulee Balang yang ditetapkan secara turun temurun.
Para Ulee Balang menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh dan
disahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh, melalui surat pengangkatan
atau sarakata dan telah dibubuhi stempel Cap Sikureung yang merupakan
stempel resmi Kerajaan Aceh.
Sementara Ulama Aceh juga merupakan struktur penting dalam pemerintahan Kerajaan Aceh
sebagai kerajaan Islam. Ulama juga ikut dalam mengambil kebijakan
terhadap hukum pemerintahan dan ulama banyak menduduki posisi strategis
dalam struktur pemerintahan Aceh, seperti Qadhi dan lain sebagainya.
Para Ulama ini di gelari dengan Teungku sebagai orang yang menunjukkan
jalan kepada ajaran Islam. Pada masa perang Aceh ulama berperan penting
dalam mengusir penjajah bersama dengan para Ulee Balang dan masyarakat
Aceh. Keberadaan Ulama di dayah-dayah mengajari masyarakat Aceh ajaran
Islam membuat Ulama begitu dekat dengan masyarakat. Semangat perang
syahid juga didapatkan masyarakat Aceh melalui ulama. Kemulian Ulama
dalam masyarakat Aceh inilah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh
Belanda untuk meruntuhkan peranan Ulee Balang dalam struktur
pemerintahan Aceh.
Perang Cumbok pun terjadi, Ulama dan Ulee Balang berperang mati-matian untuk suatu alasan yang tidak jelas. Hasutan Teungku Puteh (Dr. Snouck Hurgronje)
begitu berhasil untuk menciptakan perang saudara dan
memporak-porandakan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Ulee Balang.
Mereka percaya bahwa Ulee Balang adalah kaki tangan Belanda dan membantu
Belanda untuk menjajah Aceh. Kefanatikan masyarakat Aceh telah menjadi
bumerang tersendiri hingga sekarang. Padahal keberadaan Ulee Balang
adalah sama-sama berperang untuk melawan penjajah. Ratusan Ulama dan
Ulee Balang merenggang nyawa secara sia-sia untuk suatu ambisi penjajah
yang tidak disadari oleh masyarakat Aceh.
Semenjak perang Cumbok, keturunan Ulee Balang takut untuk menjadi
penerus kepemimpinan pendahulunya bahkan malu untuk menerima gelar
kebangsawanannya. Keadaan ini sangat tidak adil untuk mereka yang
dianggap sebagai pengkhianat atau penjual negerinya sendiri kepada
penjajah. Kesimpulannya adalah jangan salahkan Ulee Balang dalam perang
Cumbok, mereka hanya korban oleh siasat penjajah.