Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang
beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal
dari luarIndonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan
Aceh.
Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para
antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya,
Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini
banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang
strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan
Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari
akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu
dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda
dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang
merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena
itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh
dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat
sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol
sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai
kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka
saya mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh
yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang
biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990
mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya
merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang
tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami
daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie,
Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang
digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasaAustronesia yang
terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar,
Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya
tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee,
Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan
kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi
ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh
menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih
suka menyebut diri sebagai “Orang Aceh”, sehingga Aceh patut dipandang
sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah
sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang
mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang,
dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan
lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya
menjadi nelayan. Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang,
terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung
padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda,
kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah. Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun,
dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah
pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara
tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan
dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat
Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di
sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap
ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh
perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah
keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah
menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri
selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah
sepenuhnya. Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan
yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge
sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal,
yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari
beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk
bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh
masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya
Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip
bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal
(tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah
mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian,
sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok
kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah
tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban
memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama
adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal
(juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut
saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara
dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah
rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang
bergabung ke dalam satu belah (klen). Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip
patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki.
Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal,
yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,
golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa.
Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang
pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah
ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang
adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai
daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau
Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan
masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan
hulubalang dan ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai
lapisan menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini
sistem pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam
masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang
kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan. Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas
tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang
bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang
menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan;
golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan
tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan
ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung
atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap
gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum
meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin
oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.
Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,
tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat). Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang
dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan
daerah Kejerun Bambel.
Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut
Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap
unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa
(Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang
Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen
(merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong.
Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung
disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan
tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri
dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa
buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur
kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai
yang mewakili rakyat.
D. RELIGI
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama
Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan “Serambi
Mekah”, maksudnya “pintu gerbang” yang paling dekat antara Indonesia
dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian
kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur
kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan
Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan
corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut
masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun
bahasaAustronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek
Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa
sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas
beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir.
Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek
bahasa tersebut. Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal
dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh.
Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara
lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan
bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut
yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo
Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi. Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang
kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang
mengatakan, bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa
Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh,
misalnya kata “orang” dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t
sering c, misalnya kata “tiada” dibaca “ciade”.
F. KESENIAN
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam,
namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati
inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni
kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran
mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu
berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam,
seperti Hikayat Perang Sabil. Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang
berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus
(dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara.
Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang
dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo
adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan
cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain
tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan
rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula
bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato
berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
G. PERALATAN
Persenjataan Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang
penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah
paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng).
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
H. SEJARAH
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai
daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi
dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda,
cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul
disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai
bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai negara. Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke
nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India
yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari
berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur
pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di
Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah
berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja
bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat
penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi
Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam
tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang
menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya
untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak
berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di
sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani
yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan
Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), barulah Malaka
bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan
di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada
saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga
banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap
di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu
nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin
oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di
Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis
mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta
menawan Frederick De Houteman. Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin
oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha
menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut
disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama
itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh
mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu
Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda
dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh
Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan
tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan
kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang
atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April
1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam
sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah
menelan jutaan nyawa. Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang
Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan,
dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda
dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas
dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan
mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang
terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang
terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya
korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot
Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari
belenggu perang yang mengenaskan.
I. HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang
pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan
sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh,
didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan
sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang
terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan
beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam
bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur
Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim
dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan
Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan
Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh
seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam
catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang
dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan
terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok
pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut
yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para
pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum
melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atauTimur Tengah, India. Kota
Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan
Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang
dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan
banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok
seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15,
armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan
Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada
waktu itu.
Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan
Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan
Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat
(India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini
banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya “kampung Cina”,
seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum
kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh
sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur
perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan
internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal
disana. Aceh adalah kerajaan terkuat di utara sumatra, yang pada masa
kejayaanya menguasai semua pelabuhan2 dagang yang penting di Sumatra,
kecuali daerah paling selatan. Dan beberapa daerah di semenanjung
malaya.
Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai
ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus
mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14
M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan
Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511
M) . Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan
Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat
Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan
dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan
kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil
yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di
Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis.
Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk
menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian
ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu,
kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah
yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari
seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah
berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis
yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika
Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga
Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan
gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan
jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, , Aceh Darussalam menjadi satu-satunya
kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa,
terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi
serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak
sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah
yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke
Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali
pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur
ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga
akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa
itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di
Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan
diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada
masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan
membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia
mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer
untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh
mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang
secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575