Berbicara mengenai antropologi, pasti erat kaitannya dengan letak geografis sebuah daerah, budaya hingga sejarah yang mendasari lahirnya berbagai sifat manusia di daerah tersebut. Kita mengenal suku Minang yang khas dengan anak rantau dan kerja kerasnya, hingga tak heran lahirlah ungkapan orang-orang Minang menyebut “pantang pulang sebelum berhasil”. Contoh lainnya, kita juga mengenal gadis Sunda dengan segala bentuk keayuan dan keramah tamahannya. Begitupun di Aceh, sedari dulu karakter orang Aceh yang khas dan mendarah daging menjadikan stereotipe tersendiri bagi siapapun mereka yang belum ataupun telah mengenal karakter orang Aceh. Tidak dapat dipungkiri, karakter ini lahir sebagai proses dan bukti sejarah, serta kebiasaan yang membudaya hingga membentuk pribadi orang Aceh yang khas. Namun, apakah semua karakter tersebut benar adanya? Berikut ini saya akan coba paparkan beberapa stereotipe orang Aceh yang terkenal dari masa ke masa.
1.Orang Aceh itu, Keras!
Ya, saya mengakui selaku masyarakat Aceh asli, bahwa karakter orang Aceh memang lebih cenderung keras. Namun, jangan salah beranggapan dahulu. Sifat keras yang dimiliki orang Aceh bukan bermakna suka melakukan tindak kekerasan semena-mena. Sekali lagi tidak sama sekali. Orang Aceh terkenal keras terhadap apa yang dia yakini, apa yang dia percayai. Rasanya akan sangat sulit sekali mengubah haluan hidup orang Aceh, sehingga terkesanlah bahwa orang Aceh itu keras kepala. Namun, pada kenyataannya tidak selalu begitu. Sifat keukeh dan teguh terhadap pendirian inilah yang membawa orang Aceh dapat bertahan dengan segala peristiwa yang mereka alami dari masa ke masa Maka tak heran, dahulu Aceh menjadi daerah di Indonesia yang paling sulit untuk ditaklukkan oleh penjajah Belanda.
Sifat keras kepala dan teguh pendirian ini pula diwariskan oleh orang Aceh dari masa ke masa. Jika menilik kembali pada sejarah Aceh, maka kita akan membaca kisah pahlawan Aceh yang kesemuanya sangat gigih dan keras melakukan perlawanan terhadap Belanda. Tidak ada kata nego, jika itu berhubungan dengan harga diri masyarakat Aceh. Seperti yang dikatakan oleh Hadih Maja (petuah Aceh) berikut ini:
“Meunyö krèuh beu butoi krèuh, beulageè kayeè jéut keu tamèh rumöh, meunyö leumöh beu butöi leumöh, beulageè taloë peuikat bubông rumöh”Hadih Maja ini memiliki arti yang sangat dalam, menandakan bahwa sikap orang Aceh tak selamanya keras, namun dapat menjadi sangat lembut kepada sesamanya. Asalkan hati dapat diraih, sifat yang sekeras kerak nasi pun, akan melunak jika diberi air.
(Jika keras, maka harus sangat keras, seperti layaknya kayu yang menjadi pondasi rumah. Jika lembut, maka sangat lembutlah, seperti tali pengikat atap rumah).
Selain itu, nada berbicara orang Aceh juga terdengar keras dan lantang. Beberapa anekdot daerah yang saya temui mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh letak geografis orang Aceh yang berdampingan dengan kawasan pantai, hingga suarapun harus terdengar lantang agar menyamai besarnya suara gelombang. Anekdot lainnya yaitu suara lantang berasal dari kebiasaan orang Aceh yang hidup di zaman perang, sehingga bunyi peluru tembakan akan lebih jelas terdengar jika mereka tidak bersuara keras dan lantang. Namun untuk sisi kebenaran anekdot tersebut, masih dicari kebenarannya.
2. Orang Aceh itu, Setia.
Ya, sifat setia menjadi salah satu sifat yang melekat pada masyarakat Aceh. Sifat loyal kepada orang yang dituakan, seperti orang tua, guru, pemuka agama dan masyarakat, menjadikan orang Aceh terkenal konsisten terhadap segala hal. Mulai dalam hal beragama, pandangan hidup, hingga setia pada pasangannya masing-masing. Jika sudah begini, akan sangat sulit mengubah haluan loyalitas orang Aceh. Jika sudah percaya, maka mereka sulit beralih. Namun jangan sesekali menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan, karena mereka akan membalasnya jauh lebih sulit dari apa yang telah mereka terima.
3. Perempuan Aceh itu, Cantik dan Tegas!
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Aceh menjadi salah satu daerah dengan perempuan yang cantik. Sebagian besar perempuan Aceh memiliki wajah khas etnis dunia, seperti Arab, China, Eropa dan India, yang jarang dimiliki oleh perempuan-perempuan lainnya di Indonesia. Hingga tak heran, terkadang Aceh disebut sebagai gabungan dari 4 etnis tersebut. Ke empat etnis ini memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Aceh di masa lalu, sampai terjadilah asimilasi dan akulturasi antara budaya. Sebut saja di daerah Lamno, yang terkenal dengan dara mata biru yang merupakan keturunan Portugis, dan di Aceh Besar yang sebagian besar memiliki wajah seperti orang Arab dan India.
Selain itu, wanita Aceh terkenal tegas, berani dan berpendirian teguh. Ini merupakan ciri khas Aceh yang sudah dikenal sejak perjuangan para pahlawan perempuan Aceh di masa dahulu. Sebut saja Cut Nyak Dhien yang terkenal dengan kepahlawanannya mengangkat rencong kepada Belanda, dan Laksamana Malahayati yang dikenal sebagai salah satu panglima perang angkatan laut wanita di dunia. Pada kenyataannya, saat ini perempuan di Aceh tidak hanya mau membantu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mau diajak hidup susah, namun juga mau membantu suaminya untuk mencari nafkah.
4. Ungkapan bahwa orang Aceh kaya raya
Ini menjadi stereotipe tersering yang dilontarkan oleh orang di luar Aceh. Banyak hal yang mendasari mengapa pada akhirnya timbullah stereotipe yang mengatakan bahwa orang Aceh kaya raya. Terutama jika ditilik ke belakang mengenai jasa orang Aceh yang kisahnya telah direkam oleh sejarah. Sebut saja pesawat RI 001, yang merupakan sumbangan masyarakat Aceh kepada pemerintah Indonesia, dan Teuku Markam yang menyumbangkan emas pada puncak Monumen Nasional (MONAS).
Saat masyarakat Aceh pergi ke luar Aceh, maka tak heran kita dapat melihat mereka yang senang sekali berbelanja dan sering terdengar ungkapan orang Aceh yang mengatakan “Harga di sini jauh lebih murah dibandingkan di Aceh ya!” Namun, jangan menyalahartikan kebiasaan dan ungkapan orang Aceh tersebut dengan orang yang mempunyai banyak uang. Di Aceh, harga segala produk cenderung lebih mahal dibandingkan Medan ataupun Jakarta. Aceh pun menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan biaya hidup tertinggi. Maka tak heran jika es teh manis seharga Rp.1500,- di Yogyakarta akan menjadi Rp.5000,- di Aceh. 5. Lebih senang ke Malaysia daripada ke Jakarta
Ada beberapa alasan yang menyebabkan warga Aceh lebih senang pergi ke Malaysia daripada ke Jakarta, di antaranya karena disebabkan jarak antara Aceh dan Malaysia yang lebih dekat dibandingkan Aceh ke Jakarta. Selain harga tiket yang lebih murah, kamu hanya akan menghabiskan waktu 45 menit untuk bisa sampai ke Malaysia. Itu merupakan waktu dan jarak tempuh yang hampir sama antara Aceh ke Medan, Sumatera Utara. Hingga tak heran, banyak dari warga Aceh yang lebih memilih untuk liburan, berobat hingga bekerja ke Malaysia. Selain itu, antara Aceh dan Malaysia pun masih memiliki hubungan kekerabatan yang erat dari zaman Sultan Iskandar Muda hingga sekarang. Bahkan dipercaya, bahwa asal usul nenek moyang warga Malaysia salah satunya berasal dari Aceh. Dari segi bahasa pun, orang Aceh akan lebih nyaman berkomunikasi dengan warga Malaysia, hal ini dikarenakan mereka yang masih serumpun Melayu. Begitulah, bahkan di Malaysia jika kamu menyebut dirimu sebagai orang Aceh, maka perlakuan istimewa akan kamu dapatkan dibandingkan kamu menyebut nama daerah lain yang ada di Indonesia. Bukan bermaksud rasis, namun begitulah kenyataannya.
6. Idealisme dalam beragama masih sangat kental
Aceh menjadi salah satu daerah yang menjadi jalur masuknya Islam ke Nusantara. Hingga tak heran, sampai saat ini pun idealisme mereka dalam beragama tetap dijaga. Kalau kamu bertemu dengan orang Aceh asli, maka hampir mustahil kamu menemui orang Aceh yang non muslim. Walaupun menjadi jumlah mayoritas, tenggang rasa masyarakat Aceh yang muslim terhadap non muslim sangatlah besar. Jikapun nanti kamu berjalan-jalan ke Aceh, kamu akan menemui banyak mesjid di setiap jalanan yang kamu lalui. Bahkan dalam setiap 1 kilometer, kamu akan menemukan satu mesjid dan satu musholla.
7. Orang Aceh senang berinvestasi pada emas dan tanah
Jika memiliki rezeki yang berlebih, biasanya masyarakat Aceh akan membeli emas atau tanah sebagai investasi. Bahkan pada pernikahan, emas dijadikan sebagai mahar pernikahan yang dipatokkan dalam sebutan “mayam” yang hanya terkenal di Aceh. Mayam merupakan satuan jual beli emas di Aceh dengan 3,3 gram emas per mayamnya. Di zaman dahulu, seseorang akan dianggap sebagai saudagar kaya di Aceh jika memiliki banyak tanah dan menjadi “toke emas” atau pemilik investasi emas terbesar.
8. Orang Aceh suka makanan “berlemak”
Makanan “berlemak” yang dimaksud oleh orang Aceh adalah semua makanan khas Aceh yang memiliki komposisi daging, ikan, bersantan dan kaya rempah. Sebagian besar, semua makanan khas Aceh terkenal dengan istilah “berlemak” yang diistilahkan juga sebagai makanan yang enak sekali. Sebut saja seperti Sie Itek (kuah gulai itik), Kuah Beulangong, Gulee Kameng (gulai kambing), dan sebagainya. Pada kenyataannya, banyak makanan di Aceh yang memiliki kadar lemak dengan kolesterol yang tinggi, sehingga setelah memakannya akan banyak yang mengeluhkan sakit kepala dan tekanan darah menjadi tinggi.