Media-Andesdi - Perang Belanda di Aceh yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX
belum berakhir. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengakhiri perang
yang telah banyak memakan korban, baik di pihak Aceh maupun di pihak
Belanda sendiri. Menjelang akhir abad XIX dan pada awal abad XX, Belanda
melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang
mereka namakan het korps marechaussee (pasukan marsose).
Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan
semangat tempur yang tinggi, dengan tugas untuk melacak dan mengejar
para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka
akan membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya
membuang ke luar daerah Aceh.
Dengan cara kekerasan ini Belanda mengharapkan rakyat atau para pejuang
akan takut dan menghentikan perlawanan Belanda. Namun apa yang terjadi ?
Akibat tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci dan
dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang bersisa,
lebih-lebih bagi keluarga mereka tinggalkan, ayah, anak, menantu, sanak
keluarga atau kawomnya yang telah menjadi korban keganasan pihak
Belanda.
Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda tersebut
para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh
Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische Atjeh Moord, Suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan.
Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang
Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak
sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad
ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun
pada tangsi-tangsi sendiri.
Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak
79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka,
sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam
tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di
tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban
dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX
(1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De
Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh.
Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada
waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198
jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan
Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh
pada masa perang 1873 – 1899.
Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun
1942. Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat
pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten CE Schmid, komandan Divisi 5 Korp
Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933, yang dilakukan oleh Amat
Lepon. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak
Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.
Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (bunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.
Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut
menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir
berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan
keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang
memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu
membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.
Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan
bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para
pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda,
bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di
antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo (Aceh Gila).
Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis
terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern,
penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil
penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa.
Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin
terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau
oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut
R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas
akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan
tetap melawan Belanda.
Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah
Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten
yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan
studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah
Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila.
Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua
pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka
melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada
Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila. Untuk itu seharusnya tindakan
kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru
yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan
oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai
di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka
tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan
usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.