RIBUAN demonstran yang digerakkan Kelompok Bersih menggelar demo
besar-besaran, menuntut Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak mundur
dari jabatan, Sabtu (19/11).
SERANGKAIAN aksi demontrasi yang mengguncang Malaysia sejak beberapa terakhir, merisaukan para perantau, khususnya pedagang asal Aceh. Pasalnya, dalam beberapa kali demo,
para pedagang Aceh yang umumnya berjualan di pusat pasar Chowkit, Kuala
Lumpur, harus menutup tokonya mengikuti arahan aparat keamanan
setempat.
“Kami rela tinggalkan keluarga anak, istri, dan sanak saudara untuk
mencari peruntungan di sini. Kalau KL (Kuala Lumpur) juga kacau macam
Aceh, bagaimana nasib kami dan usaha kami?” tutur Tauke Ali, pria asal
Pidie, pemilik kedai runcit di wilayah Selangor, sebagaimana dilaporkan
Masyitah Rivani, kontributor Serambi di Kuala Lumpur, Minggu (20/11).
Kegelisahan lebih dirasakan oleh perantau yang mengaku datang ke Malaysia
lewat jalur belakang (back street) dengan harapan dapat mengumpulkan
ringgit dan mengurus permit (surat izin kerja) di negeri jiran ini. Tapi
bila keadaan terus memburuk, bukannya surat izin kerja yang akan
diperoleh, tapi di balik jeruji besi akan berada.
Pekerja profesi dan mahasiswa Aceh juga sangat banyak di Malaysia. Seperti dituturkan Zulkifli, bekerja di Malaysia
lebih menguntungkan, karena nilai mata uang ringgit lebih tinggi
daripada rupiah. Dengan demikian, hasil kerja kerasnya di negeri jiran
ini nilainya lebih tinggi ketika dikirim ke Aceh.
Namun, kondisi akhir-akhir ini merisaukan masa depan Zulkifli. “Bila Malaysia tidak kondusif, tentu ekonominya juga bergejolak. Sekarang ini Malaysia
beli apa saja kena GST (pajak barang dan jasa -red), lalu subsidi di
beberapa sektor, seperti pendidikan dan kesehatan sudah dihapus. Jadi
bagi mereka saja sudah mulai diiritkan, apalagi bagi perantauan seperti
kami ini. Banyak fasilitas yang bisa didapatkan percuma (gratis), ke
depan akan sulit nampaknya,” kata dia.
Kegundahan juga dirasakan oleh Jalaluddin, mahasiswa asal Aceh yang sedang mengambil master di University Kebangsaan Malaysia
(UKM). “Dulu student di sini, baik itu warga lokal atau asing, sangat
mudah mendapatkan bantuan dana pendidikan dari kerajaan. Sekarang habok
(debu) pun tiada,” ujarnya.
Namun, meski keadaan sulit sedang terjadi di Malaysia,
para perantau asal Aceh tetap saja enggan meninggalkan tanah semanjung
tersebut. Apalagi, secara historis, Aceh punya kedekatan rumpun dan
agama yang sama, sehingga tidak akan lekang dengan Malaysia. “Jujur kami katakan, sangat ingin pulang Aceh. Tapi jangan tanya kapan, sebab kami pun tak tahu. Malaysia ini sudah menjadi harapan baru untuk kami dan perantauan Aceh lainnya,” ungkap Zulkifli.
Diberitakan Serambi, aksi demonstrasi “Bersih 5” yang digelar Sabtu (19/11), membuat pejabat kepolisian Malaysia,
Kuala Lumpur, memblokir 58 jalan yang dianggap pusat perkumpulan
masyarakat ramai, di antaranya Jalan Bangsar, Masjid Negara, Jalan
Tuanku Abdul Rachman, Maybank, Dataran Merdeka, Sogo, dan Chowkit.
Chowkit yang dianggap ‘Pasar Atjeh-nya’ orang Aceh di Malaysia,
menjadi salah satu kawasan jalan yang diblokir. Pemblokiran itu membuat
suasana salah satu kawasan perdagangan terpadat di Kuala Lumpur ini
menjadi lebih lengang. Para tauke kedai runcit Aceh dari wilayah
kerajaan lainnya seperti Kerajaan Selangor, Seremban, atau kerajaan
lainnya yang pada hari biasa turun ke Chowkit sebelum Sabtu subuh tiba,
mereka mengurungkan niatnya untuk mengambil barang-barang di sentral
pendistibusian barang, Chowkit.
Aksi demo
yang melibatkan puluhan ribu orang berkaos kuning itu menuntut Perdana
Menteri Najib Razak yang dituduh terlibat skandal keuangan, mundur dari
jabatannya. (*)
Sumber: Serambi Indonesia