BANDA ACEH - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, akhirnya
mengeluarkan surat hasil evaluasinya terkait penolakan Gubernur Aceh,
dr Zaini Abdullah terhadap Pasal 24 huruf i dan Pasal 28 huruf h
Rancangan Qanun
(Raqan) Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota (Qanun
Pilkada) meskipun sudah disidangparipurnakan oleh DPRA.
Hasilnya, Mendagri sepakat dengan Gubernur Zaini bahwa kedua pasal itu tidak boleh digunakan lagi dalam Qanun
Pilkada. Pasal 24 huruf i mengatur tentang narapidana tidak boleh
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sedangkan Pasal 28 huruf h
mengatur tentang anggota partai politik harus mengundurkan diri dari
keanggotaan partai politik minimal tiga bulan sebelum mendaftarkan diri
sebagai calon perseorangan/independen.
“Surat jawaban Mendagri sudah turun tadi. Paling lambat Senin (7/11) eksekutif mengembalikan Qanun Pilkada ke DPRA untuk kita bahas bersama kembali terkait poin yang telah mendapat harmonisasi, sinkronisasi, dan evaluasi dari Mendagri,”
kata Asisten I Setda Aceh, Dr Muzakkar A Gani MSi kepada Serambi
melalui WhatsApp, Kamis (3/11) sembari mengirim kopian salinan surat
tersebut.
Surat berkop Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia
bernomor 188/8685/OTDA tanggal 3 November 2016 itu ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Dr Sumarsono MDM. Melalui surat itu, Mendagri
menjawab surat penolakan Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah terhadap
Pasal 24 huruf i dan Pasal 28 huruf h Raqan Pilkada yang dikirim pada 17
Oktober lalu.
Terhadap aturan mantan napi tak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah Mendagri menjelaskan bahwa pengaturan dalam Qanun
Pilkada agar mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51/PUU-XIV/2016 tanggal 23 Agustus 2016. Sebab, pada Pasal 67 ayat (2)
huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana.
Sementara itu, terkait anggota partai politik harus mengundurkan diri dari keanggotaan partai, Mendagri juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya Qanun
Pilkada tidak boleh mengatur melebihi dari apa yang telah ditetapkan
dalam UUPA. Karena itu, jika terdapat kekosongan pengaturan dalam UUPA,
maka untuk pejabaran lebih lanjut agar memedomani UU Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Penganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang serta Peraturan
Pelaksanannya.
“Berkenaan dengan norma Pasal 28 huruf h tersebut, agar Saudara tetap
mengacu pada Pasal 67 UU Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 41 UU Nomor 10
Tahun 2016, dan Pasal 12 PKPU Nomor 10 Tahun 2016 yang pada intinya
tidak mengatur tentang kewajiban bagi calon perseorangan untuk
mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sebagai salah satu
syarat pencalonan. Atas dasar itu pula hal tersebut tidak perlu diatur
dalam Qanun Aceh, karena pengaturan pengunduran diri merupakan kewenangan internal partai politik,” demikian inti surat Mendagri.