Ketika Panitia Seminar Hari Jadi Pidie meminta
kepada saya menulis sebuah makalah bandingan tentang sejarah Pidie, saya
mencoba membuka berbagai referensi yang ada. Seandainya nanti ada
kesamaan dalam pemaparan, semoga kesamaan tersebut menuju pada tujuan
hajatan ini. Sebaliknya, kita berharap adanya berbagai perbedaan, yang
dengan itu nanti digali lebih jauh, menuju sebuah persepsi yang sama.
Tulisan sederhana ini semoga bisa memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam benak kita tentang sejarah Pidie. Sejarah sangat penting untuk mengetahui masa lalu dan tindakan masa depan, sebagaimana pernah disampaikan Prof T Ibrahim Alfian (1972) bahwa sejarah mempunyai nilai aplikasi praktis dan kegunaan sosial yang langsung, membentuk kepribadian, memperluas pandangan dan pengalaman.
Ulama besar Aceh tempo dulu, Sheik Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Kuta Karang pada tahun 1886 dalam kitab Maw’idhat al-Ikwan mengungkapkan tentang kegunaan langsung dan betapa pentingnya memahami dan belajar dari sejarah untuk memecahkan beragam pertanyaan yang mengemuka.
Sejarah bukan hanya sekadar berita masa lalu, tapi merupakan rangkain peristiwa yang saling berkesinambungan (continuity) dan melahirkan perubahan (change). Tugas sejarawanlah untuk menganalisa peristiwa-peristiwa masa lalu itu menjadi sebuah rangkaian jawaban.
Muasal Kata Poli
Mengapa daerah Pidie sekarang ini dulu dikenal sebagai Poli. Dari mana asal usul kata Poli tersebut? Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) meyakini Poli berasal dari nama raja pertama yang membuka kawasan Pidie yakini Syahir Pauling yang berasal dari Siam.
Sejarawan Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menilai, Poli berasal dari kata Pali, suku bangsa di Ceylon yang datang awal mula ke kawasan Pidie sekarang. Poli diyakini ada hubungannya dengan kata Melayu Polinesia. Asaliah lainnya dari kata Pungli pusat kerajaan bangsa Bari di lembah Sungai Nil. Bangsa Bari ini merupakan bangsa yang memuja ruh. Mereka suka memakai gelang kaki dari gading.
Sejauh mana korelasi Pidie masa lalu dengan Melayu Polinesia dan Bangsa Bari di lembah sungai Nil, ini juga perlu dikaji kembali untuk mendapatkan penjelasan yang jelas tentang sejarah Pidie itu sendiri secara menyeluruh, mulai dari awal hingga masa kini.
Pidie Pra Islam
Kajian pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa sebenarnya yang pertama hidup dan membangun komunitas dan membentuk kerajaan di Pidie ini. Saya lebih tertarik untuk mengkaji Pidie jauh sebelum kerajaan Poli atau Pedir, yakni pada masa Kerajaan Sama Indra.
Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) mengungkapkan, dalam kitab Umdatul-ilhab karangan Machdum Djohani disebutkan, masyarakat Pidie merupakan keturunan Syahir Pau Ling (Poli) yang berasal dari Siam. Ia yang pertama membuka daerah Pidie yang dinamainya Kerajaan Sama Indra. Kerajaan yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Poli, lalu menjadi Pedir, dan berubah menjadi Pidie sebagaimana sekarang ini.
Machdum Djohani sebagaimana dikutip M Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling ini merupakan empat bersaudara yang datang ke Aceh. Tiga saudaranya lainnya adalah:
Bila merujuk pada keterangan Machdum Djohani tersebut, maka tahun lahirnya kerajaan Sama Indra di kawasan Pidie ini tak jauh beda dengan Peureulak, Jeumpa, dan Lamuri. Ini bisa menjadi salah satu point pertimbangan kita.
Pertanyaan selanjutnya, tahun berapa Sama Indra itu didirikan. Lalu dimana pusat kerajaan tersebut?. M Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling merupakan pimpinan rombongan Mon Khmer dari Asia Tengah yang datang ke Pidie beberapa abad sebelum tahun masehi. Ia tidak menyebutkan tahun pasti, serta tidak menjelaskan apakah ketika rombogan itu datang sudah ada penduduk asli di Pidie? Ini juga harus menjadi point selanjutnya yang harus kita gali.
Pada masa Kerajaan Sama Indra, penduduknya masih menganut agama yang dianut oleh bangsa Mon Khmer yakni agama Budha Mahayana atau Himayana yang kemudian juga berkembang agama Hindu. Kerajaan Sama Indra ini menjadi saingan Kerajaan Indra Purba (Lamuri) di sebelah barat dan Kerajaan Plak Plieng (Panca Warna) di sebelah Timur.
Tidak jelas apakah Plak Plieng ini sama dengan Kerajaan Sahe/Sanghela di Paya Seutui, Ulim yang menjadi cikal bakal Negeri Meureudu, atau Plak Plieng dan Sahe/Sanghela berkembang pada periode yang berbeda, atau apakah kedua kerajaan tersebut pecahan dari Sama Indra?.
Sejarahawan Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menjelaskan, Kerajaan Pidie pada zaman purba kala – mungkin yang dimaksudnya adalah Sama Indra – wilayahnya mulai dari Kuala Batee sampai ke Kuala Ulim. Bila berpegang pada keterangan H M Zainuddin ini, maka Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakal Pidie, lebih tua dari Kerajaan Sahe/ Sanghela di Meureudu. Bisa jadi juga Sahe/Sanghela merupakan pecahan dari Sama Indra.
Ahli sejarah kuno, Winstedt menyebut Poli (Pidie) pada masa dulu merupakan daerah makmur dan jaya yang terkenal dengan pelabuhannya. Pertanyaannya sekarang, di mana pelebuhan Pidie tempo dulu itu? Ini juga harus kita gali lebih jauh. H M Zainuddin menjelaskan, Pelabuhan Poli berbentuk genting. Ia menduga pelabuhan itu merupakan sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee. Keyakinan H M Zainuddin tersebut berdasarkan pada catatan musafir Tiongkok, Pa Hin (413 masehi) yang mengungkapkan tentang pelabuhan berbentuk genting tersebut.
Poli/Pedir dalam Riwayat Tiongkok
Sebagai sebuah kerajaan, Poli/Pedir membangun diplomasi dengan Tiongkok. Ini terungkap dalam kisah perjalanan musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian). Oleh H M Zainuddin dijelaskan, lawatan Fa Hian itu dilakukan pada masa Tiongkok dipimpin Dinasty Liang, pada awal abad V atau tahun 413 masehi.
Dalam catatan Fa Hian sebagaimana dikutip H M Zainuddin dijelaskan, kerajaan Pedir itu luasnya sekitar 100 X 200 mil, sekitar 50 hari perjalanan kaki dari timur kebarat, 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Wiayahnya terdiri dari 136 desa yang mata pencaharian penduduknya sebagain besar menanam padi dua kali setahun. Ada juga yang memelihara ulat sutra untuk menenun kain. Di kawasan pesisir Poli saat itu penduduknya sudah memakai kain, tapi di pedalaman masih memakai kulit kayu (cawat). Raja Poli/Pedir saat itu masih beragama Budha.
Tahun 518 masehi, raja Poli/Pedir mengirim utusannya ke Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik. Membalas kunjungan tersebut, pada tahun 671 masehi Raja Tiongkok mengirim lagi utusannya ke Poli/Pedir. Utusan itu bernama I Tsing. Dia mengunjungi beberapa kerajaan pesisir di Sumatera, mulai dari Lamuri, Poli/Pedir, Pasia/Samudera, Peureulak hingga ke Dagroian. Namun tidak dijelaskan dimana Dagroian itu. Dalam kunjungan muhibah tersebut, selama lima bulan I Tsing tinggal dalam sebuah kampung berpagar bambu di pesisir Sumatera Utara.
Pedir Menjadi Kerajaan Islam
Menentukan hari jadi Pidie juga bisa dilakukan dengan menelusuri kapan Kerajaan Sama Indra berubah menjadi kerajaan Islam. Menentukan hari jadi Pidie dari awal Islam berkembang di Pidie lebih rasional dari pada beberapa point alternatif sebelumnya.
Menelusuri peralihan Hindu ke Islam di Pidie juga lebih mudah dari pada menentukan kapan kedatangan bangsa Mon Khmer, serta kapan Kerajaan Sama Indra didirikan. Jadi mari kita alihkan perhatian kita kepada peristiwa transisi kaimanan tersebut.
M Junus Djamil mengungkapkan, peralihan itu terjadi setelah Kerajaan Sama Indra diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam menjelang pertengahan abad IX hijriah atau antara akhir abad XIV dan awal abad XV masehi. Berarti dalam tahun 840-an hijriah atau 1390-an sampai 1410 masehi.
Untuk lebih mendekati lagi tahun peralihan itu, kita bisa menelusuri siapa raja Kerajaan Aceh Darussalam yang melakukan penyerangan Sama Indra tersebut. Masih menurut M Junus Djamil penyerangan itu terjadi pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sulthan Mansur Syah I. Sulthan ini memimpin Aceh Darussalam pada periode 755 – 811 hijriah atau 1354 – 1408 masehi.
Setelah penyerangan oleh Kerajaan Aceh Darussalam tersebut, nama Sama Indra dihilangkan menjadi Negeri Pedir yang kini kita sebut sebagai Pidie. Pengaruh hindu di Pedir barus habi terkikis ketika Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Mahmud II Alaiddin Johan Syah yang memerintah dari tahun 811 – 870 hijrian (1408-1465 masehi). Ia merupakan pengganti Sulthan Mansur Syah I.
Sulthan Mahmud II Alaiddin Johan Syah mengangkat Raja Husein Syah menjadi Sulthan Muda Pedir dengan gelar Maharaja Pedir Laksamana Raja. Kepadanya diberikan hak otonomi penuh untuk memerintah Pedir sebagai negeri otonom Kerajaan Aceh Darussalam.
M Junus Djamil merincikan, silsilah raja-raja Pedir selanjutnya adalah:
H Muhammad Said dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh II, Agustus 1972 menjelaskan tentang kedatangan Ludovico di Varthema pelawat dari Portugal ke Pidie pada abad ke-15. Kedatangan Varthema itu ditulis oleh Prof D G E Hall dari Inggris dalam buku A History of South East Asia.
Dalam buku itu dijelaskan pada abad ke-15 Pidie yang disebut sebagai Pedir merupakan daerah yang sudah maju, setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat setempat dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat. Malah, Vartheme menggambarkan, di sebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 moneychanger,” tulis Varhtema.
Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang masuk Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”. Selain itu, Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.
Jabatan Kehormatan dari Sulthan Iskandar Muda
Ketika hendak menyerang Semenanjung Malaka, Sulthan Iskandar Muda mengunjungi Negeri Pidie dan Meureudu. Rapat besar dilakukan dengan Uleebalang dan panglima di dua negeri tersebut. Para pembesar yang hadir antara lain: Tgk Jalalauddin Fakih (Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Panglima Pidie, Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.
Kepada Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima oleh Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima. Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri) dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang menjabat di kuala dan rimba.
Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada, Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Ceubo, Titue Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan Luengputu.
Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.
Kuburan di Pulo Puep
Satu bekas purba kala ditemukan di Gampong Pulo Puep, sekitar dua sampai tiga kilomter arah utara pasar Luengputu. H M Zainuddin mengungkapkan, di gampong itu juga ditemukan kuburan dengan batu nisan yang sama seperti ditemukan di makam raja raja Pasai dan makan di Keulibeut. Kuburan itu ditemukan di sebuah tempat yang dinamai Pulo Gayo. Pada tahun 1939 H M Zainuddin pernah melakukan penelitian lansung ke tempat itu. Ia mengaku penasaran mengapa tempat itu dinamai Pulo Gayo sementara umumnya orang mengetahuyi Gayo itu berada di Aceh bagian tengah.
Dari pedududuk di Pulo Puep H M Zainuddin memperoleh informasi bahwa dahulu kala di daerah itu hanya ada beberapa gampong diantaranya: Pulo Piuep, Pulo Pisang dan Pulo Angkoi di dekat Kuala Putu (Luengputu) yang menyatu dengan Kuala Ndjong. Suatu waktu seorang raja dari Gayo datang ke daerah itu untuk menghadap raja Ndjong. Tapi sampai di kuala itu ia sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Ia dikuburkan di sana.
Beberapa tahun kemudian ahli waris Raja Gayo itu datang berziarah. Kuburan itu diperbaiki dan dipasang batu nisan yang berukir dengan huruf arab yang artinya “Di sini ada kuburan Raja Gayo”. Setelah itulah daerah di kuburan itu dinamai Pulo Gayo.
Ketika meneliti keberadaan kuburan tersebut, H M Zainuddin menemukan potongan-potongan batu nisan yang sudah runtuh dan jatuh ke dalam sebuah sungai kecil (alue). Dua potongan nisan itu diambil oleh H M Zainuddin. Ia merekam tulisan di potongan nisan tersebut dengan menggunakan karbon.
Dari penduduk Pulo Pueb H M Zainuddin juga memperoleh kabar bahwa tidak jauh dari Pulo Gayo itu nelayan di sana sering menemukan rantai suah kapal dan papan bekas perahu zaman dahulu. H M Zainuddin pun kemudian melanjutkan penelitiannya ke sana. Kesimpulannya, daerah itu merupakan salah satu daerah pelabuhan penting zaman dahulu di Kerajaan Pedir, malah jauh sebelum kerajaan itu terbentuk, yakni pada masa Pedir masih bernama Kerajaan Sama Indra.
Meski demikian, H M Zainuddin tidak bisa memastikan bagaimana bentuk dan susunan pemerintahan di kerajaan tersebut. Hanya saja ketika Kerjaan Aceh Darussalam telah terbentuk dan Pedir menjadi bagian federasi di dalamnya, diketahui bahwa Pedir yang saat itu sudah dipanggil dengan sebutan Pidie diperintahkan oleh banyak uleebalang di berbagai wilayahnya.
Para uleebalang itu bergelar meuntroe, panglima, imum, keujruen dan bentara, seperti: Meuntroe Banggalang, Meuntroe Garot, Bentara Rubee, Imum Peutawoe Andeue, Meuntroe Gampong Are, bentara Po Puteh Mukim VIII, Imum Lhokkadju, Meuntroe Metarem (Metareuem), Meuntroe Krueng Seumideum, Bentara Pinueng, Bentara Gigieng, Bentara Blang Ratnawangsa, panglima Meugeu, Bentara Keumangan, Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Bentara Blang Gapu (Ie Lubeu), Bentara Gampong Asan, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Alue, Keujruen Aron, Keujruen Pencalang Rimba Truseb, Bentara Djumbo’, Bentara Titue, Bentara Keumala, Kejrueng Panteraja, Kejrueng Peurambat Pangwa, dan Keujrueng Chik Meureudu.
Para uleebalang tersebut memerintah sendiri negerinya yang langsung berhubungan dengan Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan beberapa uleebalang diangkat oleh raja Kerajaan Aceh Darussalam pada masa diperintah oleh Sulthan Iskandar Muda. Mereka yang diangkat langsung oleh Sulthan Iskandar Muda merupakan para uleebalang baru untuk memimpin daerah yang baru dibuka waktu itu, seperti: Bentara Pineung, Bentara Gigieng, Panglima Meugeu, Imuem Peutawoe Andeue dan Ilot, Bentara Cumbo’, Bentara Titue dan Bentara Keumala.
Daerah itu dibuka oleh Sulthan Iskandar Muda untuk memperluas persawahan dan mengatur irigasi. Air dari Keulama dialirkan hingga ke persawahan melalui sungai kecil (lueng) ke setiap wilayah pertanian seperti Rubee, Iboh (Lueng Bintang), Ie Lubeu (Lueng Djaman), Mangki (Lueng Busu/Lueng Rambayan). Air dari Keumala itu juag ditersukan ke Lueng Alue Batee, Glumoang Payong, Unoe (Lueng Glumpang Minyeuk/Lueng Trueng Campli), Ndjong dan Lancok (Lueng Putu).
Semua jalur irigasi (lueng) itu digali secara bersama-sama oleh rakyat atas perintah Sulthan Iskandar Muda. Karena itulah negeri-negeri di Pidie dan Meureudu waktu itu kaya dengan berbagai hasil pertanian dan perkebunan. Malah pada zaman Sulthan Iskandar Mudan, negeri Meureudu dijadikan sebagai daerah lumbung pangan bagi Kerajaan Aceh Darussalam.
Pembangunan irigasi ke sawah-sawah di semua daerah itu juga melibatkan ulama-ulama setempat, seperti Tgk Di Waido (Lueng Bintang) atau sering disebut Tgk Di Pasi, kemduian Tgk Treung Campi di Glumpang Minyek yang membuka irigasi ke blang raya Glumpang Payong. Tgk Rubiah (Rubieh) di Meureudu dan beberapa tempat lainnya. Sampai sekarang para petani sebelum turun ke sawah melakukan khanduri blang di makam ulama-ulama tersebut.
Federasi Uleebalang XII dan VI
Pada masa kerajaan Aceh Darusalam diperintah oleh Sulthan Alauddin Mahmud Syah (1767 – 1787) terjadi kekacaun di berbagai dearah akibat perang saudara. Uleebalang yang satu menyerang wilayah uleebalang lainnya untuk memperluas daerah kekuasaan dan menguasai perkebunan. Untuk menghadapi hal tersebut, dibentuklah dua federasi uleebang di Pidie, yakni federasi uleebalang duablah (XII) dan federasi uleebang nam (VI).
Federasi uleebalang XII meliputi Teuku Raja Pakeh, Teuku Bentara Ribee, Meuntroe Banggalang, Teuku Bentara Blang, Bentara Tjumbok, Bentara Titue di bagian barat yang dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh. Kemudian di bagian timur Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Keujrueun Aron, Keujruen Truseb, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Gampong Asan yang dipimpin oleh Meuntroe Adan yang bergelar Meuntroe Polem kemudian menjadi Lakasama Polem.
Sementara federasi uleebalang VI terdiri dari: Bentara Keumangan (Panghulee Peunareu), Bentara Sama Indra (Mukim VIII), Bentara Pineung, Bentara Keumala, Panglima Meugeu, dan Bentara Gigieng. Federasi ini dipimpin oleh Bantara Keumangan.
Laksamana Polem kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Teuku Muhammad Hussain dengan anak Teuku Bentara Ndjong. Ketika Teuku Bentara Ndjong meninggal ia tidak memiliki anak laki-laki, maka diangkatlah menantunya itu sebagai penggantinya oleh masyarakat setempat.
Kemudian Teuku Muhammad Hussain menikah lagi dengan anaknya Teuku Bentara Gampong Asan, karena perkawinan itu pula Gampong Asan berhasil dipengaruhinya. Dari sana ia menunaikan haji ke Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah ternyata Laksamana Polem ayahnya sudah meninggal, maka diangkatlah dia menjadi laksamana dengan gelar Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain.
Laksamana Hussain sangat giat membangun perkebunan lada. Pada masa itu Bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka sudah dibuka oleh Raffles, maka Laksamana Hussain berangkat ke sana bersama rombongannya untuk misi dagang.
Pulang dari sana, ia memperluas perkebunan, untuk tujuan itu maka Bentara Putu diserang. Ia ingin mengambil dan menguasai perkebunan di perbukitan Paru, Musa dan Panteraja yang saat itu juga sudah mengembangkan perkebunan lada. Setelah menaklukkan daerah tersebut, Laksamana Hussain mendatangkan orang-orang Cetti dari Pulau Pinang untuk bekerja di perkebunan tersebut. Perkebunan itu di atas perbukitan Musa itu diatur oleh Haji Lam Ara, kawannya Laksamana Hussain ketika sama-sama naik haji ke Mekkah.
Laksama Hussain memmiliki 17 anak, anak-anaknya itu diminta untuk mengatur dan membuka wilayah perkebunan baru. Teuku Rajeu’ Main disuruhnya menjaga pantai sepanjang Blang Gapu, Ie Luebeu sampai ke Kuala Ndjong. Ia memerintah di sana dengan membuka peternakan sapi dan pertambakan, serta memperbanyak pukat (jaring) bagi para nelayan.
Anak Laksamana Hussain lainnya, Teuku Sjahbuddin disuruh untuk menetap di Panteraja. Di sana ia membuka perkebunan lada dan menikah dengan anak Kejrueng Beuracan. Anak Laksamana Hussain ada juga yang dinikahkan dengan Keujruen Chik Samalanga. Sementara anaknya yang tua, Teuku Mahmud membantunya memerintah di Kuala dan Keude Ndjong. Karena perkawinan anak-anaknya itulah pengaruh kekuasaannya Laksamana Hussain semakin melebar.
Kemudian anaknya yang perempuan bernama Pocut Atikah dikawinkan denan Teuku Raja Pakeh Dalam. Karena giatnya Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain membangun perkebunan dan memperluas kekuasan, ia menjadi uleebalang terkaya di Pidie melalui politik perkawinan anak-anaknya, hingga ia mendapat dukungan yang kuat.
Setelah Laksamana Tuanku Muhammad Hussain mangkat, maka diangkatlah Teuku Mahmud, anaknya sebagai pengganti degan gelar Laksamana Mahmud. Dalam pemerintahannya terjadi perang dengan negeri Meureudu, karena Meureudu menyerang untuk merebut wilayah Pangwa dan Trienggadeng. Panglima Siblok yang diangkat oleh Laksamana Mahmud untuk memerintah di Kejreuen Pangwa tak mampu melawan. Ia ditangkap dan dikirim ke Bentara Keumangan oleh panglima Meureudu karena negeri Meureudu waktu itu telah mengikat hubungan dengan federasi uleebalang VI.
Sampai di Keumangan, Panglima Siblok dibunuh. Karena itu Laksamana Mahmud marah besar. Ia menghimpun pasukannya untuk menuntut balas dan menyerang Negeri Meureudu. Dalam perang itu penglima perang negeri Meureudu Teuku Muda Cut Latif ditawan dan dikirim ke Bandar Aceh Darussalam untuk disidangkan oleh Sulthan.
Sulthan kemudian mendamaikan dua negeri tersebut dan panglima Meureudu dibebaskan, sementara wilayah Pangwa dan Trienggadeng diserahkan dalam pengawasan federasi uleebalang XII yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud. Dari perdamaian itu kemudian anak Laksamana Mahmud dinikahkan dengan anak panglima besar negeri Meureudu, Teuku Muda Cut Latif.
Pidie Masa Kolonial Hingga Sekarang
Sejarah terus berlanjut dengan kedatangan bangsa asing ke nusantara, diantaranya Portugis, Inggris, dan Belanda. Misi dagang yang dibawa Belanda kemudian berujung dengan kekerasan bersenjata. Perang Aceh dengan Belanda pun berlangsung dalam waktu yang lama.
Ketika pusat Kerajaan Aceh (Dalam) berhasil direbut Belanda pada 24 Januari 1874, serta Sulthan Alaiddin Mahmud Syah mangkat pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera, maka pusat kerajaan Aceh dipindahkan ke Keumala, Pidie. Belanda baru bisa menguasia Aceh secara de facto pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek.
Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Pidie.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang No 7 (drt) tahun 1956 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Pidie. Kemudian sejalan dengan meningkatnya aktivita pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Pidie, maka pada tahun 1988 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat keputusan nomor 136.21 – 526 tentang pembentukan tiga wilayah pembantu Bupati Pidie, yaitu : Wilayah I dengan ibukotanya Kota Sigli terdiri dari 10 kecamatan, Wilayah II dengan ibokotanya Kota Bakti terdiri dari 7 kecamatan, dan Wilayah III dengan ibukotanya Meureudu terdiri dari enam kecamatan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri ini kemuduan dijabarkan lebih lanjut melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh nomor 061.1/851/1988, tanggal 1 November 1988, tentang susunan organisasi dan tata kerja kantor pembantu Bupati Pidie Wilayah I, Wilayah II dan Wilayah III, serta Kantor Pembantu Bupati Aceh Utara Wilayah Lhoksukon.
Menindaklanjuti kedua keputusan itu, Bupati Pidie kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 136/139/1989, tentang pedoman pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab serta hubungan kerja pembantu Bupati dalam daerah Tingkat II Pidie untuk Wilayah I, Wilayah II, dan Wilayah III. Nama-nama bupati Kabupaten Pidie hingga tahun 2007 sebagai berikut.
Referensi
H Muhammad Said, Wajah Rakyat Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
H M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Cetakan I, 1961, Medan, Pustaka Iskandar Muda.
H M Zainuddin, Atjeh dalam Inskripsi dan Lintasan Sedjarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
H M Zainuddin, Singa Atjeh, Biografi Sri Sulthan Iskandar Muda, 1957, Medan, Pustaka Iskandar Muda.
Iskandar Norman, Pidie Jaya dalam Lintasan Sejarah, Cetakan I, Desember 2011, Banda Aceh, Bandar Publishing.
M Junus Djamil, Silsilah Tawarich Radja-radja Keradjaan Atjeh, 1968, Kutaradja, Adjdam-I/Iskandar Muda.
Munawiah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Cetakan I, Desember 2007, Yogjakarta, AK Group dan Ar Raniry Press.
T Ibrahim Alfian, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
T Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Cetakan I, 1999, Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).[]
Tulisan sederhana ini semoga bisa memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam benak kita tentang sejarah Pidie. Sejarah sangat penting untuk mengetahui masa lalu dan tindakan masa depan, sebagaimana pernah disampaikan Prof T Ibrahim Alfian (1972) bahwa sejarah mempunyai nilai aplikasi praktis dan kegunaan sosial yang langsung, membentuk kepribadian, memperluas pandangan dan pengalaman.
Ulama besar Aceh tempo dulu, Sheik Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Kuta Karang pada tahun 1886 dalam kitab Maw’idhat al-Ikwan mengungkapkan tentang kegunaan langsung dan betapa pentingnya memahami dan belajar dari sejarah untuk memecahkan beragam pertanyaan yang mengemuka.
Sejarah bukan hanya sekadar berita masa lalu, tapi merupakan rangkain peristiwa yang saling berkesinambungan (continuity) dan melahirkan perubahan (change). Tugas sejarawanlah untuk menganalisa peristiwa-peristiwa masa lalu itu menjadi sebuah rangkaian jawaban.
Muasal Kata Poli
Mengapa daerah Pidie sekarang ini dulu dikenal sebagai Poli. Dari mana asal usul kata Poli tersebut? Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) meyakini Poli berasal dari nama raja pertama yang membuka kawasan Pidie yakini Syahir Pauling yang berasal dari Siam.
Sejarawan Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menilai, Poli berasal dari kata Pali, suku bangsa di Ceylon yang datang awal mula ke kawasan Pidie sekarang. Poli diyakini ada hubungannya dengan kata Melayu Polinesia. Asaliah lainnya dari kata Pungli pusat kerajaan bangsa Bari di lembah Sungai Nil. Bangsa Bari ini merupakan bangsa yang memuja ruh. Mereka suka memakai gelang kaki dari gading.
Sejauh mana korelasi Pidie masa lalu dengan Melayu Polinesia dan Bangsa Bari di lembah sungai Nil, ini juga perlu dikaji kembali untuk mendapatkan penjelasan yang jelas tentang sejarah Pidie itu sendiri secara menyeluruh, mulai dari awal hingga masa kini.
Pidie Pra Islam
Kajian pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa sebenarnya yang pertama hidup dan membangun komunitas dan membentuk kerajaan di Pidie ini. Saya lebih tertarik untuk mengkaji Pidie jauh sebelum kerajaan Poli atau Pedir, yakni pada masa Kerajaan Sama Indra.
Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) mengungkapkan, dalam kitab Umdatul-ilhab karangan Machdum Djohani disebutkan, masyarakat Pidie merupakan keturunan Syahir Pau Ling (Poli) yang berasal dari Siam. Ia yang pertama membuka daerah Pidie yang dinamainya Kerajaan Sama Indra. Kerajaan yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Poli, lalu menjadi Pedir, dan berubah menjadi Pidie sebagaimana sekarang ini.
Machdum Djohani sebagaimana dikutip M Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling ini merupakan empat bersaudara yang datang ke Aceh. Tiga saudaranya lainnya adalah:
- Syahir Nuwi, dikenal sebagai Pho He La, raja yang pertama membuka Kerajaan Peureulak.
- Syahir Tanwi, raja yang membuka Kerajaan Jeumpa, Bireuen.
- Syahir Dauli, raja yang membuka Bandar Lamuri, kerajaan Indra Purwa di Aceh Besar.
Bila merujuk pada keterangan Machdum Djohani tersebut, maka tahun lahirnya kerajaan Sama Indra di kawasan Pidie ini tak jauh beda dengan Peureulak, Jeumpa, dan Lamuri. Ini bisa menjadi salah satu point pertimbangan kita.
Pertanyaan selanjutnya, tahun berapa Sama Indra itu didirikan. Lalu dimana pusat kerajaan tersebut?. M Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling merupakan pimpinan rombongan Mon Khmer dari Asia Tengah yang datang ke Pidie beberapa abad sebelum tahun masehi. Ia tidak menyebutkan tahun pasti, serta tidak menjelaskan apakah ketika rombogan itu datang sudah ada penduduk asli di Pidie? Ini juga harus menjadi point selanjutnya yang harus kita gali.
Pada masa Kerajaan Sama Indra, penduduknya masih menganut agama yang dianut oleh bangsa Mon Khmer yakni agama Budha Mahayana atau Himayana yang kemudian juga berkembang agama Hindu. Kerajaan Sama Indra ini menjadi saingan Kerajaan Indra Purba (Lamuri) di sebelah barat dan Kerajaan Plak Plieng (Panca Warna) di sebelah Timur.
Tidak jelas apakah Plak Plieng ini sama dengan Kerajaan Sahe/Sanghela di Paya Seutui, Ulim yang menjadi cikal bakal Negeri Meureudu, atau Plak Plieng dan Sahe/Sanghela berkembang pada periode yang berbeda, atau apakah kedua kerajaan tersebut pecahan dari Sama Indra?.
Sejarahawan Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menjelaskan, Kerajaan Pidie pada zaman purba kala – mungkin yang dimaksudnya adalah Sama Indra – wilayahnya mulai dari Kuala Batee sampai ke Kuala Ulim. Bila berpegang pada keterangan H M Zainuddin ini, maka Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakal Pidie, lebih tua dari Kerajaan Sahe/ Sanghela di Meureudu. Bisa jadi juga Sahe/Sanghela merupakan pecahan dari Sama Indra.
Ahli sejarah kuno, Winstedt menyebut Poli (Pidie) pada masa dulu merupakan daerah makmur dan jaya yang terkenal dengan pelabuhannya. Pertanyaannya sekarang, di mana pelebuhan Pidie tempo dulu itu? Ini juga harus kita gali lebih jauh. H M Zainuddin menjelaskan, Pelabuhan Poli berbentuk genting. Ia menduga pelabuhan itu merupakan sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee. Keyakinan H M Zainuddin tersebut berdasarkan pada catatan musafir Tiongkok, Pa Hin (413 masehi) yang mengungkapkan tentang pelabuhan berbentuk genting tersebut.
Poli/Pedir dalam Riwayat Tiongkok
Sebagai sebuah kerajaan, Poli/Pedir membangun diplomasi dengan Tiongkok. Ini terungkap dalam kisah perjalanan musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian). Oleh H M Zainuddin dijelaskan, lawatan Fa Hian itu dilakukan pada masa Tiongkok dipimpin Dinasty Liang, pada awal abad V atau tahun 413 masehi.
Dalam catatan Fa Hian sebagaimana dikutip H M Zainuddin dijelaskan, kerajaan Pedir itu luasnya sekitar 100 X 200 mil, sekitar 50 hari perjalanan kaki dari timur kebarat, 20 hari perjalanan dari utara ke selatan. Wiayahnya terdiri dari 136 desa yang mata pencaharian penduduknya sebagain besar menanam padi dua kali setahun. Ada juga yang memelihara ulat sutra untuk menenun kain. Di kawasan pesisir Poli saat itu penduduknya sudah memakai kain, tapi di pedalaman masih memakai kulit kayu (cawat). Raja Poli/Pedir saat itu masih beragama Budha.
Tahun 518 masehi, raja Poli/Pedir mengirim utusannya ke Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik. Membalas kunjungan tersebut, pada tahun 671 masehi Raja Tiongkok mengirim lagi utusannya ke Poli/Pedir. Utusan itu bernama I Tsing. Dia mengunjungi beberapa kerajaan pesisir di Sumatera, mulai dari Lamuri, Poli/Pedir, Pasia/Samudera, Peureulak hingga ke Dagroian. Namun tidak dijelaskan dimana Dagroian itu. Dalam kunjungan muhibah tersebut, selama lima bulan I Tsing tinggal dalam sebuah kampung berpagar bambu di pesisir Sumatera Utara.
Pedir Menjadi Kerajaan Islam
Menentukan hari jadi Pidie juga bisa dilakukan dengan menelusuri kapan Kerajaan Sama Indra berubah menjadi kerajaan Islam. Menentukan hari jadi Pidie dari awal Islam berkembang di Pidie lebih rasional dari pada beberapa point alternatif sebelumnya.
Menelusuri peralihan Hindu ke Islam di Pidie juga lebih mudah dari pada menentukan kapan kedatangan bangsa Mon Khmer, serta kapan Kerajaan Sama Indra didirikan. Jadi mari kita alihkan perhatian kita kepada peristiwa transisi kaimanan tersebut.
M Junus Djamil mengungkapkan, peralihan itu terjadi setelah Kerajaan Sama Indra diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam menjelang pertengahan abad IX hijriah atau antara akhir abad XIV dan awal abad XV masehi. Berarti dalam tahun 840-an hijriah atau 1390-an sampai 1410 masehi.
Untuk lebih mendekati lagi tahun peralihan itu, kita bisa menelusuri siapa raja Kerajaan Aceh Darussalam yang melakukan penyerangan Sama Indra tersebut. Masih menurut M Junus Djamil penyerangan itu terjadi pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sulthan Mansur Syah I. Sulthan ini memimpin Aceh Darussalam pada periode 755 – 811 hijriah atau 1354 – 1408 masehi.
Setelah penyerangan oleh Kerajaan Aceh Darussalam tersebut, nama Sama Indra dihilangkan menjadi Negeri Pedir yang kini kita sebut sebagai Pidie. Pengaruh hindu di Pedir barus habi terkikis ketika Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Mahmud II Alaiddin Johan Syah yang memerintah dari tahun 811 – 870 hijrian (1408-1465 masehi). Ia merupakan pengganti Sulthan Mansur Syah I.
Sulthan Mahmud II Alaiddin Johan Syah mengangkat Raja Husein Syah menjadi Sulthan Muda Pedir dengan gelar Maharaja Pedir Laksamana Raja. Kepadanya diberikan hak otonomi penuh untuk memerintah Pedir sebagai negeri otonom Kerajaan Aceh Darussalam.
M Junus Djamil merincikan, silsilah raja-raja Pedir selanjutnya adalah:
- Sulaiman Nur, anak Sulthan Husein Syah (Saudara Malik Munawar Syah, raja muda dan laksamana di Aru).
- Syamsu Syah (kemudian menjadi Sulthan Aceh Darussalam)
- Malik Ma’ruf Syah (Syahir Dauli I), putra Sulaiman Nur. Mangkat pada tahun 916 hijriah (1511 masehi) dikuburkan di komplek makam Teungku di Kandang, Keulibeuet, dekat kubur ayahnya, Sulaiman Nur.
- Ahmad Syah (Syahir Dauli II), putra dari Malik Ma’ruf Syah. Meninggal ketika kalah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah tahun 926 hijriah (1520 masehi) juga dikuburkan di Keulibeuet.
- Husein Syah, putra Sulthan Riayat Syah II (Meureuhom Kha) kemudian menjadi sulthan Aceh menggantikan ayahnya.
- Saidil Mukammil, putra Raja Firman Syah, 997 – 1011 hijriah (1589-1604 masehi). Merupakan ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
- Husein Syah II, putra dari Sulthan Saidil Mukammil.
- Meurah Poli, maharaja orang kaya Negeri Keumangan, dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang menyerang Portugis di Malaka.
- Syahir Poli (Po Meurah) atau Maharaja Keumangan Po Rah. Bentara IX mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroee. Saudaranya yang bernama Po Maneeh/ Po Nipeeh dijadikan Laksamana Negeri Pidie.
- Meurah Po Itam, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan)
- Meurah Po Puan, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan)
- Meurah Po Thahir, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan) terkenal dalam perangPocut Muhammad dengan Poteu Jeumaloi (Sulthan Djamalul ‘Alam Badrul Munir) pada tahun 1152 hijriah (1740 masehi). Beliau mempunyai dia saudara: Murah Po Doom dan Meurah Po Johoo.
- Meurah Po Seuman (Usman) Pang Ulee Peunaroe
- Meurah Po Lateeh (Abdul Latif), Pang Ulee Peunaroe yang terkenal dengan istilah “Keumangan Teungeut”.
- Teuku Keumangan Jusuf, pemerintahannya sudah dalam masa perang Aceh melawan Belanda (di atas tahun 1873).
- Teuku Keumangan Umar, Uleebalang IX mukim Keumangan.
H Muhammad Said dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh II, Agustus 1972 menjelaskan tentang kedatangan Ludovico di Varthema pelawat dari Portugal ke Pidie pada abad ke-15. Kedatangan Varthema itu ditulis oleh Prof D G E Hall dari Inggris dalam buku A History of South East Asia.
Dalam buku itu dijelaskan pada abad ke-15 Pidie yang disebut sebagai Pedir merupakan daerah yang sudah maju, setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat setempat dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat. Malah, Vartheme menggambarkan, di sebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 moneychanger,” tulis Varhtema.
Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang masuk Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”. Selain itu, Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.
Jabatan Kehormatan dari Sulthan Iskandar Muda
Ketika hendak menyerang Semenanjung Malaka, Sulthan Iskandar Muda mengunjungi Negeri Pidie dan Meureudu. Rapat besar dilakukan dengan Uleebalang dan panglima di dua negeri tersebut. Para pembesar yang hadir antara lain: Tgk Jalalauddin Fakih (Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Panglima Pidie, Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.
Kepada Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima oleh Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima. Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri) dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang menjabat di kuala dan rimba.
Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada, Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Ceubo, Titue Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan Luengputu.
Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.
Kuburan di Pulo Puep
Satu bekas purba kala ditemukan di Gampong Pulo Puep, sekitar dua sampai tiga kilomter arah utara pasar Luengputu. H M Zainuddin mengungkapkan, di gampong itu juga ditemukan kuburan dengan batu nisan yang sama seperti ditemukan di makam raja raja Pasai dan makan di Keulibeut. Kuburan itu ditemukan di sebuah tempat yang dinamai Pulo Gayo. Pada tahun 1939 H M Zainuddin pernah melakukan penelitian lansung ke tempat itu. Ia mengaku penasaran mengapa tempat itu dinamai Pulo Gayo sementara umumnya orang mengetahuyi Gayo itu berada di Aceh bagian tengah.
Dari pedududuk di Pulo Puep H M Zainuddin memperoleh informasi bahwa dahulu kala di daerah itu hanya ada beberapa gampong diantaranya: Pulo Piuep, Pulo Pisang dan Pulo Angkoi di dekat Kuala Putu (Luengputu) yang menyatu dengan Kuala Ndjong. Suatu waktu seorang raja dari Gayo datang ke daerah itu untuk menghadap raja Ndjong. Tapi sampai di kuala itu ia sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Ia dikuburkan di sana.
Beberapa tahun kemudian ahli waris Raja Gayo itu datang berziarah. Kuburan itu diperbaiki dan dipasang batu nisan yang berukir dengan huruf arab yang artinya “Di sini ada kuburan Raja Gayo”. Setelah itulah daerah di kuburan itu dinamai Pulo Gayo.
Ketika meneliti keberadaan kuburan tersebut, H M Zainuddin menemukan potongan-potongan batu nisan yang sudah runtuh dan jatuh ke dalam sebuah sungai kecil (alue). Dua potongan nisan itu diambil oleh H M Zainuddin. Ia merekam tulisan di potongan nisan tersebut dengan menggunakan karbon.
Dari penduduk Pulo Pueb H M Zainuddin juga memperoleh kabar bahwa tidak jauh dari Pulo Gayo itu nelayan di sana sering menemukan rantai suah kapal dan papan bekas perahu zaman dahulu. H M Zainuddin pun kemudian melanjutkan penelitiannya ke sana. Kesimpulannya, daerah itu merupakan salah satu daerah pelabuhan penting zaman dahulu di Kerajaan Pedir, malah jauh sebelum kerajaan itu terbentuk, yakni pada masa Pedir masih bernama Kerajaan Sama Indra.
Meski demikian, H M Zainuddin tidak bisa memastikan bagaimana bentuk dan susunan pemerintahan di kerajaan tersebut. Hanya saja ketika Kerjaan Aceh Darussalam telah terbentuk dan Pedir menjadi bagian federasi di dalamnya, diketahui bahwa Pedir yang saat itu sudah dipanggil dengan sebutan Pidie diperintahkan oleh banyak uleebalang di berbagai wilayahnya.
Para uleebalang itu bergelar meuntroe, panglima, imum, keujruen dan bentara, seperti: Meuntroe Banggalang, Meuntroe Garot, Bentara Rubee, Imum Peutawoe Andeue, Meuntroe Gampong Are, bentara Po Puteh Mukim VIII, Imum Lhokkadju, Meuntroe Metarem (Metareuem), Meuntroe Krueng Seumideum, Bentara Pinueng, Bentara Gigieng, Bentara Blang Ratnawangsa, panglima Meugeu, Bentara Keumangan, Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Bentara Blang Gapu (Ie Lubeu), Bentara Gampong Asan, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Alue, Keujruen Aron, Keujruen Pencalang Rimba Truseb, Bentara Djumbo’, Bentara Titue, Bentara Keumala, Kejrueng Panteraja, Kejrueng Peurambat Pangwa, dan Keujrueng Chik Meureudu.
Para uleebalang tersebut memerintah sendiri negerinya yang langsung berhubungan dengan Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan beberapa uleebalang diangkat oleh raja Kerajaan Aceh Darussalam pada masa diperintah oleh Sulthan Iskandar Muda. Mereka yang diangkat langsung oleh Sulthan Iskandar Muda merupakan para uleebalang baru untuk memimpin daerah yang baru dibuka waktu itu, seperti: Bentara Pineung, Bentara Gigieng, Panglima Meugeu, Imuem Peutawoe Andeue dan Ilot, Bentara Cumbo’, Bentara Titue dan Bentara Keumala.
Daerah itu dibuka oleh Sulthan Iskandar Muda untuk memperluas persawahan dan mengatur irigasi. Air dari Keulama dialirkan hingga ke persawahan melalui sungai kecil (lueng) ke setiap wilayah pertanian seperti Rubee, Iboh (Lueng Bintang), Ie Lubeu (Lueng Djaman), Mangki (Lueng Busu/Lueng Rambayan). Air dari Keumala itu juag ditersukan ke Lueng Alue Batee, Glumoang Payong, Unoe (Lueng Glumpang Minyeuk/Lueng Trueng Campli), Ndjong dan Lancok (Lueng Putu).
Semua jalur irigasi (lueng) itu digali secara bersama-sama oleh rakyat atas perintah Sulthan Iskandar Muda. Karena itulah negeri-negeri di Pidie dan Meureudu waktu itu kaya dengan berbagai hasil pertanian dan perkebunan. Malah pada zaman Sulthan Iskandar Mudan, negeri Meureudu dijadikan sebagai daerah lumbung pangan bagi Kerajaan Aceh Darussalam.
Pembangunan irigasi ke sawah-sawah di semua daerah itu juga melibatkan ulama-ulama setempat, seperti Tgk Di Waido (Lueng Bintang) atau sering disebut Tgk Di Pasi, kemduian Tgk Treung Campi di Glumpang Minyek yang membuka irigasi ke blang raya Glumpang Payong. Tgk Rubiah (Rubieh) di Meureudu dan beberapa tempat lainnya. Sampai sekarang para petani sebelum turun ke sawah melakukan khanduri blang di makam ulama-ulama tersebut.
Federasi Uleebalang XII dan VI
Pada masa kerajaan Aceh Darusalam diperintah oleh Sulthan Alauddin Mahmud Syah (1767 – 1787) terjadi kekacaun di berbagai dearah akibat perang saudara. Uleebalang yang satu menyerang wilayah uleebalang lainnya untuk memperluas daerah kekuasaan dan menguasai perkebunan. Untuk menghadapi hal tersebut, dibentuklah dua federasi uleebang di Pidie, yakni federasi uleebalang duablah (XII) dan federasi uleebang nam (VI).
Federasi uleebalang XII meliputi Teuku Raja Pakeh, Teuku Bentara Ribee, Meuntroe Banggalang, Teuku Bentara Blang, Bentara Tjumbok, Bentara Titue di bagian barat yang dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh. Kemudian di bagian timur Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Keujrueun Aron, Keujruen Truseb, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Gampong Asan yang dipimpin oleh Meuntroe Adan yang bergelar Meuntroe Polem kemudian menjadi Lakasama Polem.
Sementara federasi uleebalang VI terdiri dari: Bentara Keumangan (Panghulee Peunareu), Bentara Sama Indra (Mukim VIII), Bentara Pineung, Bentara Keumala, Panglima Meugeu, dan Bentara Gigieng. Federasi ini dipimpin oleh Bantara Keumangan.
Laksamana Polem kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Teuku Muhammad Hussain dengan anak Teuku Bentara Ndjong. Ketika Teuku Bentara Ndjong meninggal ia tidak memiliki anak laki-laki, maka diangkatlah menantunya itu sebagai penggantinya oleh masyarakat setempat.
Kemudian Teuku Muhammad Hussain menikah lagi dengan anaknya Teuku Bentara Gampong Asan, karena perkawinan itu pula Gampong Asan berhasil dipengaruhinya. Dari sana ia menunaikan haji ke Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah ternyata Laksamana Polem ayahnya sudah meninggal, maka diangkatlah dia menjadi laksamana dengan gelar Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain.
Laksamana Hussain sangat giat membangun perkebunan lada. Pada masa itu Bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka sudah dibuka oleh Raffles, maka Laksamana Hussain berangkat ke sana bersama rombongannya untuk misi dagang.
Pulang dari sana, ia memperluas perkebunan, untuk tujuan itu maka Bentara Putu diserang. Ia ingin mengambil dan menguasai perkebunan di perbukitan Paru, Musa dan Panteraja yang saat itu juga sudah mengembangkan perkebunan lada. Setelah menaklukkan daerah tersebut, Laksamana Hussain mendatangkan orang-orang Cetti dari Pulau Pinang untuk bekerja di perkebunan tersebut. Perkebunan itu di atas perbukitan Musa itu diatur oleh Haji Lam Ara, kawannya Laksamana Hussain ketika sama-sama naik haji ke Mekkah.
Laksama Hussain memmiliki 17 anak, anak-anaknya itu diminta untuk mengatur dan membuka wilayah perkebunan baru. Teuku Rajeu’ Main disuruhnya menjaga pantai sepanjang Blang Gapu, Ie Luebeu sampai ke Kuala Ndjong. Ia memerintah di sana dengan membuka peternakan sapi dan pertambakan, serta memperbanyak pukat (jaring) bagi para nelayan.
Anak Laksamana Hussain lainnya, Teuku Sjahbuddin disuruh untuk menetap di Panteraja. Di sana ia membuka perkebunan lada dan menikah dengan anak Kejrueng Beuracan. Anak Laksamana Hussain ada juga yang dinikahkan dengan Keujruen Chik Samalanga. Sementara anaknya yang tua, Teuku Mahmud membantunya memerintah di Kuala dan Keude Ndjong. Karena perkawinan anak-anaknya itulah pengaruh kekuasaannya Laksamana Hussain semakin melebar.
Kemudian anaknya yang perempuan bernama Pocut Atikah dikawinkan denan Teuku Raja Pakeh Dalam. Karena giatnya Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain membangun perkebunan dan memperluas kekuasan, ia menjadi uleebalang terkaya di Pidie melalui politik perkawinan anak-anaknya, hingga ia mendapat dukungan yang kuat.
Setelah Laksamana Tuanku Muhammad Hussain mangkat, maka diangkatlah Teuku Mahmud, anaknya sebagai pengganti degan gelar Laksamana Mahmud. Dalam pemerintahannya terjadi perang dengan negeri Meureudu, karena Meureudu menyerang untuk merebut wilayah Pangwa dan Trienggadeng. Panglima Siblok yang diangkat oleh Laksamana Mahmud untuk memerintah di Kejreuen Pangwa tak mampu melawan. Ia ditangkap dan dikirim ke Bentara Keumangan oleh panglima Meureudu karena negeri Meureudu waktu itu telah mengikat hubungan dengan federasi uleebalang VI.
Sampai di Keumangan, Panglima Siblok dibunuh. Karena itu Laksamana Mahmud marah besar. Ia menghimpun pasukannya untuk menuntut balas dan menyerang Negeri Meureudu. Dalam perang itu penglima perang negeri Meureudu Teuku Muda Cut Latif ditawan dan dikirim ke Bandar Aceh Darussalam untuk disidangkan oleh Sulthan.
Sulthan kemudian mendamaikan dua negeri tersebut dan panglima Meureudu dibebaskan, sementara wilayah Pangwa dan Trienggadeng diserahkan dalam pengawasan federasi uleebalang XII yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud. Dari perdamaian itu kemudian anak Laksamana Mahmud dinikahkan dengan anak panglima besar negeri Meureudu, Teuku Muda Cut Latif.
Pidie Masa Kolonial Hingga Sekarang
Sejarah terus berlanjut dengan kedatangan bangsa asing ke nusantara, diantaranya Portugis, Inggris, dan Belanda. Misi dagang yang dibawa Belanda kemudian berujung dengan kekerasan bersenjata. Perang Aceh dengan Belanda pun berlangsung dalam waktu yang lama.
Ketika pusat Kerajaan Aceh (Dalam) berhasil direbut Belanda pada 24 Januari 1874, serta Sulthan Alaiddin Mahmud Syah mangkat pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera, maka pusat kerajaan Aceh dipindahkan ke Keumala, Pidie. Belanda baru bisa menguasia Aceh secara de facto pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek.
Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Pidie.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang No 7 (drt) tahun 1956 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Pidie. Kemudian sejalan dengan meningkatnya aktivita pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Pidie, maka pada tahun 1988 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat keputusan nomor 136.21 – 526 tentang pembentukan tiga wilayah pembantu Bupati Pidie, yaitu : Wilayah I dengan ibukotanya Kota Sigli terdiri dari 10 kecamatan, Wilayah II dengan ibokotanya Kota Bakti terdiri dari 7 kecamatan, dan Wilayah III dengan ibukotanya Meureudu terdiri dari enam kecamatan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri ini kemuduan dijabarkan lebih lanjut melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh nomor 061.1/851/1988, tanggal 1 November 1988, tentang susunan organisasi dan tata kerja kantor pembantu Bupati Pidie Wilayah I, Wilayah II dan Wilayah III, serta Kantor Pembantu Bupati Aceh Utara Wilayah Lhoksukon.
Menindaklanjuti kedua keputusan itu, Bupati Pidie kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 136/139/1989, tentang pedoman pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab serta hubungan kerja pembantu Bupati dalam daerah Tingkat II Pidie untuk Wilayah I, Wilayah II, dan Wilayah III. Nama-nama bupati Kabupaten Pidie hingga tahun 2007 sebagai berikut.
No |
NAMA |
MASA MENJABAT |
1 |
T Cik Mat Sayed |
1945 – 1946 |
2 |
Tgk Abdul Wahab Seulimum |
1946 – 1949 |
3 |
Tgk Sulaiman Daud |
1949 – 1952 |
4 |
T A Hasan |
1952 – 1953 |
5 |
M Saleh Hasyem |
1953 – 1954 |
6 |
Mohd Ali T Panglima Polem |
1954 – 1955 |
7 |
Yuhana Datuk Nan Labih |
1955 – 1956 |
8 |
Tgk Usman Azis |
1956 – 1960 |
9 |
Tgk Ibrahim Abduh |
1960 – 1965 |
10 |
Letkol Abdullah Benseh |
1965 – 1967 |
11 |
M Husen |
1967 – 1968 |
12 |
Letkol Abdullah Benseh |
1968 – 1970 |
13 |
Hasbi Usman |
1970 – 1970 |
14 |
Mahyuddin Hasyem |
1970 – 1974 |
15 |
T. Sulaiman Effendi |
1974 – 1975 |
16 |
Letkol Sayed Zakaria |
1975 – 1980 |
17 |
Drs Nurdin Abdul Rachman |
1980 – 1985 |
18 |
Drs Nurdin Abdul Rachman |
1985 – 1990 |
19 |
Drs M Diah Ibrahim |
1990 – 1995 |
20 |
Drs M Djakfar Ismail |
1995 – 2000 |
21 |
Ir Abdullah Yahya, MS |
2000 – 2006 |
22 |
Drs H Saifuddin AR SPMH M.Kes |
Januari – Maret 2007 |
23 |
Mirza Ismail, Sos |
2007 – 2012 |
24 |
Sarjani Abdullah |
2012 – 2017 |
H Muhammad Said, Wajah Rakyat Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
H M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Cetakan I, 1961, Medan, Pustaka Iskandar Muda.
H M Zainuddin, Atjeh dalam Inskripsi dan Lintasan Sedjarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
H M Zainuddin, Singa Atjeh, Biografi Sri Sulthan Iskandar Muda, 1957, Medan, Pustaka Iskandar Muda.
Iskandar Norman, Pidie Jaya dalam Lintasan Sejarah, Cetakan I, Desember 2011, Banda Aceh, Bandar Publishing.
M Junus Djamil, Silsilah Tawarich Radja-radja Keradjaan Atjeh, 1968, Kutaradja, Adjdam-I/Iskandar Muda.
Munawiah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Cetakan I, Desember 2007, Yogjakarta, AK Group dan Ar Raniry Press.
T Ibrahim Alfian, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
T Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Cetakan I, 1999, Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).[]