Media-Andesdi - Sebagai salah seorang pejuang senior Aceh Merdeka, naskah amanat milad
dibacakan oleh Syahbuddin Abdurrauf. Dalam pidatonya Syahbuddin
menjelaskan jika perjuangan Aceh Merdeka selama 37 tahun itu masih
pendek jika dibandingkan dengan bangsa lain seperti Maluku Selatan,
Papua Barat, Patani Selatan dan Moro.
Disamping itu, pria alumni akademi militer militer Masabah Alamiah Tripoli, Libya ini mengulas bahwa setelah organisasi ASNLF kembali diaktifkan sejak April 2012 lalu, aksi pertama adalah penjajakan akses ke markas PBB urusan HAM di Jenewa melalui kerja sama dengan UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) di Belanda.
Begitu pula diundangnya beberapa kali anak muda Aceh untuk ikut pelatihan diplomasi dan HAM yang disponsori oleh UNPO. Badan UNPO adalah sebuah organisasi antar bangsa yang lebih kurang beranggotakan 50 calon negara yang tidak mempunyai perwakilan di PBB. UNPO adalah sebuah forum yang memberikan akses jalan kepada anggotanya untuk bisa masuk kedalam even internasional, juga sebagai penghubung kepada PBB dan parlemen Eropa.
”Sudah ada yang kita lakukan, masih banyak juga yang akan kita buat kedepan. Sokongan kawan seperjuangan di dalam dan luar negeri sangat diperlukan untuk tetap berkelanjutan,” pinta Syahbuddin dalam pidatonya yang berbahasa Aceh.
Di akhir pidatonya Syahbuddin menggarisbawahi tentang masalah bendera jika semua orang tahu jika bendera tersebut adalah bendera Aceh Merdeka. Namun, sayangnya akan dijadikan sebagai sebuah bendera provinsi. “Berarti telah mengkhianati 50.000 syuhada Aceh yang rela berkorban harta dan nyawanya selama 37 tahun ini,” kata Syahbuddin terisak sambil menunjuk bendera yang berada dibelakangnya.
Begitu pula Syahbuddin menguraikan jika pemangku Wali Nanggroë ke 9 telah memalsukan sejarah Aceh. Dia beralasan karena lembaga Wali Nanggroë tersebut adalah produk Helsinki tahun 2005 sedangkan sekarang sudah disulap menjadi nomor ke sembilan. Sambil bertanya Syahbuddin berkata ”apakah setahun sekali diganti Wali Nanggroë?”.....