Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah merupakan penerus kepemimpinan
perempuan di tahta kerajaan Aceh. Ia dinobatkan sebagai ratu
menggantikan Ratu Safiatuddin, sultanah pertama kerajaan Aceh.
Oleh Iskandar Norman
Ratu Nurul Alam dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh dikenal dengan nama Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah. Memerintah di Kerajaan Aceh dari tahun 1675 – 1678 masehi.
Sejarawan Aceh, Gade Ismail dan Rusdi Sufi dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan, menurut manuskrip silsilah keturunan sultan-sultan Aceh yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah adalah putri dari Malik Radiat Syaikh Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Said Al Mukammil.
Pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin, jabatan mufti kerajaan dipegang oleh Syaikh Abdur Rauf (Teungku Syiah Kuala) ulama besar Aceh pada masa itu yang telah menduduki jabatan sebagai Mufti sejak masa pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641 – 1675).
Syaikh Abdur Rauf yang kemudian memberikan masukan kepada Ratu Nagiatuddin untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh. Perubahan itu kemudian dibuat dalam bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.
Tentang itu juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” Dengan undang-undang Adat Meukuta Alam tersebut Kerajaan Aceh dibagi menjadi tiga federasi yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Setiap sagi terdiri atas beberapa mukim. Berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga sagi itu dinamakan; Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim. Setiap sagi diangkat seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.
Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888) mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.
Namun kata Van Langen, penyerahan kekuasan kepada para Panglima Sagoe itu bukan berarti mereka akan menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri. Tapi sebaliknya, mereka tetap di bawah kontrol dan pengawasan kerajaan. Panglima Sagoe lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan raja yang mengefektifkan pengawasan, yakni dengan cara memonitor sejauh mana tingkat kadar pelaksanaan pemerintahan dari pemerintah pusat di kerajaan yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpin negeri (Uleebalang) benar-benar dilaksanakan. Van Langen menilai apa yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah merupakan suatu kemajuan besar dalam tata kelola pemerintahan di Kerajaan Aceh.
Hal yang sama juga diungkapkan Thomas Braddel dalam buku “On the History of Acheen” terbitan 1851. Ia menilai beberapa kemajuan yang dilakukan oleh Ratu Naqiatuddin Syah pada masa kepemimpinannya, di antaranya: sehubungan dengan nasihat Syaikh Abdur Rauf, Ratu Naqiatuddin menyempurnakan Adat Meukuta Alam ciptaan Sulthan Iskandar Muda, penyempurnaan dilakukan sesuai dengan kondisi zaman pemerintahannya.
Penyempurnaan itu antara lain berupa tambahan ketentuan mengenai kedudukan Panglima Sagoe yang merupakan bentukan baru, dan kedudukan Uleebalang dalam Adat Meukuta Alam tersebut. Ketentuan itu antara lain sebagaimana dikutip oleh Van Langen sebagai berikut:
“Panglima Sagoe jikalau meninggal wajib atas uleebalang dalam sagoe itu mempersembahkan kepada raja. Jikalau telah mendapat itu kematian Panglima Sagoe maka raja bersabda kepada orang kaya Sri Maharaja Lela atau wakilnya, menyuruh pergi membawa belanja berapa yang cukup buat khanduri dan sedekah pada satu hari dikubur…(Van Langen, 1888 : 443).
Hal lain yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah adalah penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai alat tukar. T Ibrahim Alfian dalam “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” menjelaskan, mutu mata uang yang dikeluarkan Ratu Naqiatuddin terbuat dari emas 17 karat dengan berat 0,59 gram. Bentuk mata uang itu bertulis Arab nama dan gelar ratu, Sri Paduka Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan dibelakangnya tertulis dengan akasara Arab Naqiat ad-Din Syah Berdaulat.
Sebuah petaka terjadi pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah. Sebagaimana diungkapkan Syaikh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin. Pada masa itu terjadi kebakaran yang memusnahkan Mesjid Raya Baiturrahman dan bahkan istana kerajaan yang penuh dengan perhiasan dan barang-barang berharga terbakar.
Sejarawan Belanda lainnya, P. J. Veth dalam buku “Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland” terbitan Leiden, 1873, juga menulis tentang kebakaran tersebut. Meski pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah sangat singkat, yakni hanya tiga tahun. Banyak perkembangan yang dilakukannya dalam pemerintahan Kerajaan Aceh, dibandingkan dengan masa pemerintahan ratu sebelumnya, Safiatuddin Syah yang mencapai 35 tahun.
Dalam Bustanus Salatin, Ar Raniry mengungkapkan bahwa Ratu Naqiatuddin Syah mangkat pada hari minggu waktu dhuha 29 Zulkaidah. Ia menulis: “Kemudian dari itu, selang berapa lamanya, maka baginda pun mangkat pada hari Ahad, waktu dhuha, dua puluh sembilan Dzulkaidah.”
Menurut Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Malaische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” tanggal mengaktanya Ratu Naqiatuddin Syah yang disebut Ar Raniry itu, setelah dihitung dengan penanggalan masehi, maka Ratu Naqiatuddin wafat pada hari Minggu 23 Januari 1678.
Konseptor Aceh Lhee Sagoe
Dalam membuat konsep Aceh Lhei Sagoe, Ratu Naqiatuddin dibantu Mufti kerajaan Syeikh Abdurrauf As Singgkili yang dikenal sebagai Tgk Syiah Kuala. Perombakan sistem pemerintahan itu juga dilakukan untuk mematahkan berbagai usaha dari luar kerajaan yang ingin menumbangkan dinasti ratu.
Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel’’ tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara.
Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Setelah Ratu Safiatuddin mangkat, maka tampuk kekuasaan kerajaan Aceh dipegang oleh penerusnya yakni Ratu Naqiatuddin. Saat itu muncul golongan yang ingin menumbangkan dinasti ratu. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah.
Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif, Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan sistim pemerintahan kerajaan.
Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.