Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
- See more at: http://arielogis.com/meugang-di-tanah-rantau/#sthash.01LAuUR0.dpuf
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
- See more at: http://arielogis.com/meugang-di-tanah-rantau/#sthash.01LAuUR0.dpuf
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
- See more at: http://arielogis.com/meugang-di-tanah-rantau/#sthash.01LAuUR0.dpuf
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
- See more at: http://arielogis.com/meugang-di-tanah-rantau/#sthash.01LAuUR0.dpuf
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
- See more at: http://arielogis.com/meugang-di-tanah-rantau/#sthash.01LAuUR0.dpuf
Meugang di Tanah Rantau
Meugang adalah rasa dari keluarga – arielogis
Suasana meugang di Aceh. pasar tumpah ruah. (http://img.antaranews.com/)
Bagi kami masyarakat Aceh, meugang adalah tradisi yang telah mengakar. Menghujam ke dalam sehingga sulit dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Meugang saat dimana semua orang bisa menikmati daging. Mengolahnya menjadi ragam macam masakan. Saat meugang tiba, pertokoan di Aceh banyak yang tutup. Operasional perkantoran menjadi lebih singkat dari biasa. Sekolah malah diliburkan. Aturannya memang tidak tertulis hitam di atas putih. Namun sama-sama orang Aceh sudah memahaminya.
Dalam setahun masyarakat Aceh bisa menikmati meugang sebanyak tiga kali. Menyambut ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya memasuki hari meugang harga daging di pasar naik drastis. Bisa mencapai 170 ribu per kilogram, padahal biasanya hanya 90-100 ribu saja. Namun kenaikan harga tetap tak menjadi soal. Daging tetap saja dibeli, tentu saja sesuai dengan kemampuan. Meugang sepertinya sudah menjadi keharusan. Ia berubah menjadi simbol kewibawaan para laki-laki Aceh.
Sebagai wujud kegembiraan, meugang dinikmati oleh segenap rakyat Aceh dimanapun mereka berada. Termasuk mereka yang berada di tanah rantau. Dennie misalnya. Baru kali ini ia harus merasakan meugang jauh dari keluarga, istri dan kedua putranya. Sejak akhir 2014, teman saya ini dipindah tugaskan ke Padang untuk sebuah posisi di kantornya. Lalu bagaimana Dennie menikmati meugangnya. Melalui pesan BlackBerry ia bercerita jika ia membeli daging kemudian diolah menjadi rendang. Masak rendang di kota Padang. Masakan yang menurutnya terasa biasa saja itu hanya disantap sendiri saja. Dennie mengaku ada perasaan yang berbeda antara meugang kali ini dengan tahun sebelumnya. Ia merindukan keluarga.
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
Meugang di Tanah Rantau
Meugang adalah rasa dari keluarga – arielogis
Suasana meugang di Aceh. pasar tumpah ruah. (http://img.antaranews.com/)
Bagi kami masyarakat Aceh, meugang adalah tradisi yang telah mengakar. Menghujam ke dalam sehingga sulit dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Meugang saat dimana semua orang bisa menikmati daging. Mengolahnya menjadi ragam macam masakan. Saat meugang tiba, pertokoan di Aceh banyak yang tutup. Operasional perkantoran menjadi lebih singkat dari biasa. Sekolah malah diliburkan. Aturannya memang tidak tertulis hitam di atas putih. Namun sama-sama orang Aceh sudah memahaminya.
Dalam setahun masyarakat Aceh bisa menikmati meugang sebanyak tiga kali. Menyambut ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya memasuki hari meugang harga daging di pasar naik drastis. Bisa mencapai 170 ribu per kilogram, padahal biasanya hanya 90-100 ribu saja. Namun kenaikan harga tetap tak menjadi soal. Daging tetap saja dibeli, tentu saja sesuai dengan kemampuan. Meugang sepertinya sudah menjadi keharusan. Ia berubah menjadi simbol kewibawaan para laki-laki Aceh.
Sebagai wujud kegembiraan, meugang dinikmati oleh segenap rakyat Aceh dimanapun mereka berada. Termasuk mereka yang berada di tanah rantau. Dennie misalnya. Baru kali ini ia harus merasakan meugang jauh dari keluarga, istri dan kedua putranya. Sejak akhir 2014, teman saya ini dipindah tugaskan ke Padang untuk sebuah posisi di kantornya. Lalu bagaimana Dennie menikmati meugangnya. Melalui pesan BlackBerry ia bercerita jika ia membeli daging kemudian diolah menjadi rendang. Masak rendang di kota Padang. Masakan yang menurutnya terasa biasa saja itu hanya disantap sendiri saja. Dennie mengaku ada perasaan yang berbeda antara meugang kali ini dengan tahun sebelumnya. Ia merindukan keluarga.
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
Meugang di Tanah Rantau
Meugang adalah rasa dari keluarga – arielogis
Suasana meugang di Aceh. pasar tumpah ruah. (http://img.antaranews.com/)
Bagi kami masyarakat Aceh, meugang adalah tradisi yang telah mengakar. Menghujam ke dalam sehingga sulit dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Meugang saat dimana semua orang bisa menikmati daging. Mengolahnya menjadi ragam macam masakan. Saat meugang tiba, pertokoan di Aceh banyak yang tutup. Operasional perkantoran menjadi lebih singkat dari biasa. Sekolah malah diliburkan. Aturannya memang tidak tertulis hitam di atas putih. Namun sama-sama orang Aceh sudah memahaminya.
Dalam setahun masyarakat Aceh bisa menikmati meugang sebanyak tiga kali. Menyambut ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya memasuki hari meugang harga daging di pasar naik drastis. Bisa mencapai 170 ribu per kilogram, padahal biasanya hanya 90-100 ribu saja. Namun kenaikan harga tetap tak menjadi soal. Daging tetap saja dibeli, tentu saja sesuai dengan kemampuan. Meugang sepertinya sudah menjadi keharusan. Ia berubah menjadi simbol kewibawaan para laki-laki Aceh.
Sebagai wujud kegembiraan, meugang dinikmati oleh segenap rakyat Aceh dimanapun mereka berada. Termasuk mereka yang berada di tanah rantau. Dennie misalnya. Baru kali ini ia harus merasakan meugang jauh dari keluarga, istri dan kedua putranya. Sejak akhir 2014, teman saya ini dipindah tugaskan ke Padang untuk sebuah posisi di kantornya. Lalu bagaimana Dennie menikmati meugangnya. Melalui pesan BlackBerry ia bercerita jika ia membeli daging kemudian diolah menjadi rendang. Masak rendang di kota Padang. Masakan yang menurutnya terasa biasa saja itu hanya disantap sendiri saja. Dennie mengaku ada perasaan yang berbeda antara meugang kali ini dengan tahun sebelumnya. Ia merindukan keluarga.
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.
Meugang di Tanah Rantau
Meugang adalah rasa dari keluarga – arielogis
Suasana meugang di Aceh. pasar tumpah ruah. (http://img.antaranews.com/)
Bagi kami masyarakat Aceh, meugang adalah tradisi yang telah mengakar. Menghujam ke dalam sehingga sulit dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Meugang saat dimana semua orang bisa menikmati daging. Mengolahnya menjadi ragam macam masakan. Saat meugang tiba, pertokoan di Aceh banyak yang tutup. Operasional perkantoran menjadi lebih singkat dari biasa. Sekolah malah diliburkan. Aturannya memang tidak tertulis hitam di atas putih. Namun sama-sama orang Aceh sudah memahaminya.
Dalam setahun masyarakat Aceh bisa menikmati meugang sebanyak tiga kali. Menyambut ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya memasuki hari meugang harga daging di pasar naik drastis. Bisa mencapai 170 ribu per kilogram, padahal biasanya hanya 90-100 ribu saja. Namun kenaikan harga tetap tak menjadi soal. Daging tetap saja dibeli, tentu saja sesuai dengan kemampuan. Meugang sepertinya sudah menjadi keharusan. Ia berubah menjadi simbol kewibawaan para laki-laki Aceh.
Sebagai wujud kegembiraan, meugang dinikmati oleh segenap rakyat Aceh dimanapun mereka berada. Termasuk mereka yang berada di tanah rantau. Dennie misalnya. Baru kali ini ia harus merasakan meugang jauh dari keluarga, istri dan kedua putranya. Sejak akhir 2014, teman saya ini dipindah tugaskan ke Padang untuk sebuah posisi di kantornya. Lalu bagaimana Dennie menikmati meugangnya. Melalui pesan BlackBerry ia bercerita jika ia membeli daging kemudian diolah menjadi rendang. Masak rendang di kota Padang. Masakan yang menurutnya terasa biasa saja itu hanya disantap sendiri saja. Dennie mengaku ada perasaan yang berbeda antara meugang kali ini dengan tahun sebelumnya. Ia merindukan keluarga.
Senasib dengan Dennie sayapun merasakannya. Sejak memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah, saya tau akan merindukan banyak hal. Selain kangen anak dan istri, saya tentu merindukan meugang. Sehari sebelum meugang saya bertanya ke Shumaila putri saya pertama. Usianya baru tiga tahun. Dari telepon dia berkisah tentang masakan di rumah buatan Jiddah panggilan buat neneknya.
“Ada sop, semur, rendang” kata Shumaila menderetkan daftar masakan di rumah. Tapi tentu saja bicaranya dituntun oleh Bundanya.
Daftar masakan yang diucap oleh Shumaila adalah masakan yang kerap hadir saat Meugang. Ditambah satu lagi, sie reuboh. Masakan ini biasa dibuat oleh Ibu. “Jangan banyak-banyak” pesan istri tiap kali saya menikmati sie reuboh dengan nasi panas yang dilumuri sedikit garam. Memang kurang pas melewati meugang tanpa sie reuboh.
Saudara saya yang tengah melanjutkan sekolah di Inggris, Bang Mazrijal namanya juga punya cerita tentang meugang. Ini tahun kedua ia dan keluarga berada disana. Rutinitas dan kebiasaan meugang di Aceh coba ia diterapkan. Memasak lalu mengundang beberapa teman untuk makan bersama. Meski segala resep Ibu telah berhasil dibuat namun tetap saja ada yang kurang.
“Suasananya! Kalau masakan bisa kita buat, tapi suasananya ngak pernah tergantikan” Mazrijal merindukan meugang di Aceh.
Ade teman di radio juga berbagi cerita. Ia sudah menetap di Iran selama beberapa tahun. Di Iran, daging adalah menu harian yang biasa disantap. Tetapi ia dan beberapa warga Aceh lainnya tetap saja memasak daging saat meugang tiba. Bedanya mereka meracik bumbu masakan khas Aceh. “Biar lebih terasa kampung halaman” katanya. Seperti menugang kali ini, Ade memasak sie reuboh. Kuali tanah yang menjadi wadah memasak sengaja ia beli dari wilayah Iran Utara beberapa tahun lalu. Namun bagi Ade, meugang bukan soal masakan saja. Meugang selalu berhasil membawanya “pulang” ke rumah. Merindukan Ibu dan keluarga lainnya yang tersapu gelombang tsunami 2004 silam.
Lalu perlukah perantau menikmati meugang meski jauh dari tanah indatu? Menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan apa yang dipesankan oleh guru saya Epizar Saleh. Ia adalah reporter dan presenter berita senior di TVRI Aceh. Darinya saya belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pertelevisian namun juga soal kehidupan. Bu Epi saya menyapanya, pernah mengatakan jika meugang harus tetap dilakukan, sejauh apapun jarak kita dengan tanah kelahiran. Meugang harus tetap dipertahankan meski hanya mampu memasak daging satu ons saja.
Saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Bu Epi. Bahwa meugang merupakan tradisi lama yang harus tetap dipelihara. Sebab ia telah mengalir di dalam darah ureung Aceh, sehingga sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan. Terkhusus bagi perantau, meugang menjadi suatu hal yang amat dirindukan. Nilainya pun tidak pula dapat digantikan dengan yang lain. Karena meugang bukan sekedar menikmati daging yang diolah dengan berbagai bumbu, maka meugah adalah rasa dari keluarga. Waktu yang tepat untuk merindukan mereka.