Media-Andesdi - Seorang
ulama dayah-nasionalis asal Aceh, guru tarekat dan penjaga tradisi
Ahlussunnah Waljamaah. Lahir dengan nama Abdullah pada bulan Rabiul
Awwal 1318 H (Juni/Juli 1900), di Ujong Rimba, Pidie, Aceh.
<>
Ayahnya seorang ulama bernama Teungku Haji Hasyim, Kadi Uleebalang Peusangan. Adalah kebiasaan masyarakat Aceh untuk menisbahkan nama seorang tokoh ulama kepada daerah asalnya, sehingga jadilah nama lengkapnya yang lebih terkenal, Abdullah Ujong Rimba.
Sejak kecil, ia sudah belajar berbagai disiplin keilmuan Islam, mulai dari akidah, akhlak, bahasa Arab, hingga ushul fiqih. Pada usia 10 tahun, di tahun 1917, belajar di Dayah Ie Leubeu Meunasah Blang, Pidie, di bawah asuhan seorang ulama terkenal, Teungku Ali. Di sini ia memperdalam bahasa Arab, fiqih, tafsir dan tasawuf.
Pada 1922 melanjutkan pendidikannya ke Dayah Lamsi di Banda Aceh yang waktu itu diasuh sendiri oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud Syah (yang kemudian menjadi pahlawan nasional). Tiga tahun kemudian nyantri ke Dayah Krueng Kalee Siem, dibawah asuhan ulama kondang Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee. Di sini selain mematangkan diri belajar ilmu-ilmu keislaman, Teungku Abdullah Ujong Rimba juga menekuni Tarekat al-Haddadiyah dari gurunya tersebut.
Pada tahun 1927, Abdullah Ujong Rimba menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sekaligus belajar dan berguru kepada seorang mursyid Tarekat al-Haddadiyah di sana.
Setahun kemudian, beliau pulang ke Mekkah, dan membangun sebuah dayah di kampung halalamannya di Pidie. Dikenal hingga kini dengan nama Dayah Ujongrimba. Di dayah inilah beliau, yang juga dikenal pengagum Syekh Tanthawi al-Jawhari, penulis Tafsir al-Jawahir, mengembangkan ilmunya dari berbagai disiplin, serta mengajarkan Tarekat al-Haddadiyah, yang silsilahnya merujuk ke Syekh Abdullah al-Haddad hingga ke keluarga Rasulullah SAW.
Pada 1929, bersama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan ulama lainnya mendirikan organisasi keagamaan dengan nama Taman Jama’ah Diniyah. Dan bersama beberapa ulama di Aceh juga mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Sigli, Pidie.
Ketika pemberontakan DI/TII meletus, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba awalnya bergabung bersama pimpinan gerakan tersebut, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Namun kemudian setelah dua tahun terlibat, beliau kemudian menarik diri, dan bersama dengan ulama-ulama Aceh lainnya yang berhaluan Aswaja, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (guru Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sendiri), menyebut pemberontakan tersebut sebagai bughah mazmumah (pemberontakan tercela).
Menurut mereka, orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut dianggap menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka memberontak terhadap pemerintahan Republik yang sah, dan pemimpinnya, waktu itu Sukarno, adalah seorang muslim.
Pandangan tersebut sesuai dengan apa yang beliau tulis dalam bukunya, Hakikat Islam, bahwa politik atau siyasah adalah semacam daya helah atau strategi yang diusahakan untuk mencapai sesuatu tujuan, yaitu kemaslahatan negara. Karena pemberontakan tersebut, lanjut sang teungku ini, dianggap mengganggu kemaslahatan bernegara, maka dianggap madzmumah, tercela.
Ketika ada kontroversi tentang boleh-tidaknya tentang pementasan Barzanji oleh Rendra dalam kesempatan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Nasional di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada 1981, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba tampil memberi perkenan. Sebagai Ketua MUI Aceh, beliau memberi fatwa perkenan kepada Rendra, meski waktu itu masih non-Muslim, dan kawan-kawannya dari Bengkel Teater untuk mementaskan pertunjukan khas paham Aswaja tersebut.
Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba wafat pada 11 September 1983. (Ahmad Baso)
<>
Ayahnya seorang ulama bernama Teungku Haji Hasyim, Kadi Uleebalang Peusangan. Adalah kebiasaan masyarakat Aceh untuk menisbahkan nama seorang tokoh ulama kepada daerah asalnya, sehingga jadilah nama lengkapnya yang lebih terkenal, Abdullah Ujong Rimba.
Sejak kecil, ia sudah belajar berbagai disiplin keilmuan Islam, mulai dari akidah, akhlak, bahasa Arab, hingga ushul fiqih. Pada usia 10 tahun, di tahun 1917, belajar di Dayah Ie Leubeu Meunasah Blang, Pidie, di bawah asuhan seorang ulama terkenal, Teungku Ali. Di sini ia memperdalam bahasa Arab, fiqih, tafsir dan tasawuf.
Pada 1922 melanjutkan pendidikannya ke Dayah Lamsi di Banda Aceh yang waktu itu diasuh sendiri oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud Syah (yang kemudian menjadi pahlawan nasional). Tiga tahun kemudian nyantri ke Dayah Krueng Kalee Siem, dibawah asuhan ulama kondang Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee. Di sini selain mematangkan diri belajar ilmu-ilmu keislaman, Teungku Abdullah Ujong Rimba juga menekuni Tarekat al-Haddadiyah dari gurunya tersebut.
Pada tahun 1927, Abdullah Ujong Rimba menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sekaligus belajar dan berguru kepada seorang mursyid Tarekat al-Haddadiyah di sana.
Setahun kemudian, beliau pulang ke Mekkah, dan membangun sebuah dayah di kampung halalamannya di Pidie. Dikenal hingga kini dengan nama Dayah Ujongrimba. Di dayah inilah beliau, yang juga dikenal pengagum Syekh Tanthawi al-Jawhari, penulis Tafsir al-Jawahir, mengembangkan ilmunya dari berbagai disiplin, serta mengajarkan Tarekat al-Haddadiyah, yang silsilahnya merujuk ke Syekh Abdullah al-Haddad hingga ke keluarga Rasulullah SAW.
Pada 1929, bersama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan ulama lainnya mendirikan organisasi keagamaan dengan nama Taman Jama’ah Diniyah. Dan bersama beberapa ulama di Aceh juga mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Sigli, Pidie.
Ketika pemberontakan DI/TII meletus, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba awalnya bergabung bersama pimpinan gerakan tersebut, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Namun kemudian setelah dua tahun terlibat, beliau kemudian menarik diri, dan bersama dengan ulama-ulama Aceh lainnya yang berhaluan Aswaja, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (guru Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sendiri), menyebut pemberontakan tersebut sebagai bughah mazmumah (pemberontakan tercela).
Menurut mereka, orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut dianggap menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka memberontak terhadap pemerintahan Republik yang sah, dan pemimpinnya, waktu itu Sukarno, adalah seorang muslim.
Pandangan tersebut sesuai dengan apa yang beliau tulis dalam bukunya, Hakikat Islam, bahwa politik atau siyasah adalah semacam daya helah atau strategi yang diusahakan untuk mencapai sesuatu tujuan, yaitu kemaslahatan negara. Karena pemberontakan tersebut, lanjut sang teungku ini, dianggap mengganggu kemaslahatan bernegara, maka dianggap madzmumah, tercela.
Ketika ada kontroversi tentang boleh-tidaknya tentang pementasan Barzanji oleh Rendra dalam kesempatan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Nasional di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada 1981, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba tampil memberi perkenan. Sebagai Ketua MUI Aceh, beliau memberi fatwa perkenan kepada Rendra, meski waktu itu masih non-Muslim, dan kawan-kawannya dari Bengkel Teater untuk mementaskan pertunjukan khas paham Aswaja tersebut.
Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba wafat pada 11 September 1983. (Ahmad Baso)
<>
Ayahnya seorang ulama bernama Teungku Haji Hasyim, Kadi Uleebalang Peusangan. Adalah kebiasaan masyarakat Aceh untuk menisbahkan nama seorang tokoh ulama kepada daerah asalnya, sehingga jadilah nama lengkapnya yang lebih terkenal, Abdullah Ujong Rimba.
Sejak kecil, ia sudah belajar berbagai disiplin keilmuan Islam, mulai dari akidah, akhlak, bahasa Arab, hingga ushul fiqih. Pada usia 10 tahun, di tahun 1917, belajar di Dayah Ie Leubeu Meunasah Blang, Pidie, di bawah asuhan seorang ulama terkenal, Teungku Ali. Di sini ia memperdalam bahasa Arab, fiqih, tafsir dan tasawuf.
Pada 1922 melanjutkan pendidikannya ke Dayah Lamsi di Banda Aceh yang waktu itu diasuh sendiri oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud Syah (yang kemudian menjadi pahlawan nasional). Tiga tahun kemudian nyantri ke Dayah Krueng Kalee Siem, dibawah asuhan ulama kondang Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee. Di sini selain mematangkan diri belajar ilmu-ilmu keislaman, Teungku Abdullah Ujong Rimba juga menekuni Tarekat al-Haddadiyah dari gurunya tersebut.
Pada tahun 1927, Abdullah Ujong Rimba menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sekaligus belajar dan berguru kepada seorang mursyid Tarekat al-Haddadiyah di sana.
Setahun kemudian, beliau pulang ke Mekkah, dan membangun sebuah dayah di kampung halalamannya di Pidie. Dikenal hingga kini dengan nama Dayah Ujongrimba. Di dayah inilah beliau, yang juga dikenal pengagum Syekh Tanthawi al-Jawhari, penulis Tafsir al-Jawahir, mengembangkan ilmunya dari berbagai disiplin, serta mengajarkan Tarekat al-Haddadiyah, yang silsilahnya merujuk ke Syekh Abdullah al-Haddad hingga ke keluarga Rasulullah SAW.
Pada 1929, bersama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan ulama lainnya mendirikan organisasi keagamaan dengan nama Taman Jama’ah Diniyah. Dan bersama beberapa ulama di Aceh juga mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Sigli, Pidie.
Ketika pemberontakan DI/TII meletus, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba awalnya bergabung bersama pimpinan gerakan tersebut, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Namun kemudian setelah dua tahun terlibat, beliau kemudian menarik diri, dan bersama dengan ulama-ulama Aceh lainnya yang berhaluan Aswaja, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (guru Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sendiri), menyebut pemberontakan tersebut sebagai bughah mazmumah (pemberontakan tercela).
Menurut mereka, orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut dianggap menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka memberontak terhadap pemerintahan Republik yang sah, dan pemimpinnya, waktu itu Sukarno, adalah seorang muslim.
Pandangan tersebut sesuai dengan apa yang beliau tulis dalam bukunya, Hakikat Islam, bahwa politik atau siyasah adalah semacam daya helah atau strategi yang diusahakan untuk mencapai sesuatu tujuan, yaitu kemaslahatan negara. Karena pemberontakan tersebut, lanjut sang teungku ini, dianggap mengganggu kemaslahatan bernegara, maka dianggap madzmumah, tercela.
Ketika ada kontroversi tentang boleh-tidaknya tentang pementasan Barzanji oleh Rendra dalam kesempatan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Nasional di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada 1981, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba tampil memberi perkenan. Sebagai Ketua MUI Aceh, beliau memberi fatwa perkenan kepada Rendra, meski waktu itu masih non-Muslim, dan kawan-kawannya dari Bengkel Teater untuk mementaskan pertunjukan khas paham Aswaja tersebut.
Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba wafat pada 11 September 1983.