Jika masih ada asa untuk menyemai damai//
Jauhkan prasangka dan ankara murka//
Jika masih ada asa untuk merenda damai//
Tinggalkan belenggu masa lalu penuh duka lara//
Ulurkanlah tangan dengan setulus hati//
Genggamlah damai sampai ajal nanti//
ITULAH sepenggal puisi yang tertuang di dalam buku kumpulan puisi berjudul “Puisi Perlawanan” yang ditulis oleh Kolonel Radjasa, seorang perwira TNI dengan pengalaman 14 tahun bertugas di Aceh. Sungguh di luar dugaan kita, seorang militer mampu mengungkapkan
semangat damai di era konflik, dalam rangkaian kata-kata yang menyentuh
sanubari bagi siapa pun yang membacanya. Sebuah kontradiksi dengan apa
yang banyak orang pikirkan selama ini tentang figur militer “tangan yang
penuh dengan lumuran darah dan sepatu bot yang menginjak apa saja
didepannya”.
Alkisah, sekitar sekitar tahun 1999, Aceh baru saja keluar dari karut
marut penerapan operasi militer, seluruh pasukan TNI-BKO ditarik keluar
dari Aceh dan situasi berubah total karena semua daerah di Aceh,
terutama di Aceh Utara dan Timur dikuasai oleh kombatan GAM. Di mana-mana kita dengan mudah melihat kombatan GAM
menenteng senjata, dan setiap malam hari melakukan sweeping di Jalan
Banda Aceh-Medan, layaknya aparat keamanan Republik Indonesia. Di tengah situasi Aceh yang tak terkendali pada saat itu, ditambah
munculnya gerakan sosial antipati terhadap TNI. Maka, muncullah
sekelompok personil intelijen TNI yang terlatih. Mereka bergerak dengan
“logo” wartawan, pekerja LSM dan pedagang. Mereka berpencar di kawasan Aceh pesisir, seperti daerah tempat saya tinggal Panton Labu Aceh Utara, yang merupakan basis GAM dan kampungnya Muzakir Manaf.
Dengan kondisi yang “gawat” seperti itu kehadiran satuan
intelijen TNI boleh dibilang sebagai tindakan konyol dan dapat berisiko
besar terhadap keselamatannya personilnya, mengingat GAM dengan gencar mengendus keberadaan TNI di seluruh sudut wilayah khususnya Aceh Timur dan Aceh Utara. Dalam momentum itulah, saya berjumpa dengan perwira berpangkat Kapten
yang memimpin satuan intelijen tersebut. Dalam obrolannya, sungguh di
luar dugaan, saya mendengar jawaban yang humanis dari seorang intel. Katanya, kedatangan satuan mereka ke Aceh, bukan untuk memerangi
orang Aceh. Melainkan menjajaki pendekatan berbeda yang lebih
mengedepankan sisi kemanusiaan dan kearifan lokal yang berbasis pada
kemauan rakyat bukan penguasa lokal. Tentu, mereka juga mengatakan sambil mengevaluasi dampak dari operasi yang digelar sebelumnya.
Pernyataannya cukup dapat dipercaya, karena tak satupun dari personel
intelijen tersebut yang membawa senjata atau perlengkapan tempur
lainnya. Setelah pertemuan itulah, kami sering bertemu di Panton Labu, wilayah
kerja satuan intel ketika itu. Selang beberapa hari kemudian, atas
restu almarhum Abu Panton, para personel intelijen tersebut menyiapkan
kegiatan menyantuni janda dan anak yatim GAM yang berlokasi di kantor Kecamatan Panton Labuh. Abu Panton dan pihak keamanan lokal sendiri tidak tahu, bahwa mereka adalah satuan intelejen khusus yang datang dari Jakarta. Beberapa truk berisi sembako didatangkan dari Medan dibagikan kepada para janda GAM dan santunan pendidikan berupa penyerahan buku tabungan TABANAS diserahkan untuk anak-anak yatim GAM dari mereka.
Kegiatan berlangsung sangat mengharukan, jika saja para janda dan
anak yatim tersebut tahu bahwa tangan yang mengulurkan bantuan
kemanusiaan adalah tangan para prajurit TNI, tentu keharuan akan
bertambah.Bahkan, penyantunan tersebut juga ikut diberikana kepada Ibu kandung Muzakir Manaf sebagai Pangliam GAM ketika itu.Kepada saya, perwira senior penyelenggara acara tersebut memberikan
pernyataan sangat singkat yang masih saya ingat. Ia mengatakan “Kegiatan
ini semata mata alasan kemanusiaan, karena nilai kemanusiaan adalah
universal, semoga kegiatan ini memberikan kesejukan bagi Aceh kedepan”.
Karena kegiatan kemanusian itulah, setelah kegiatan kemanusia itu
dilaksanakan oleh satuan intelejen. Akhirnya tercium oleh aparat Korem
011/Lilawangsa. Akhirnya sang Kapten intelijen harus berurusan berurusan dengan pihak
Korem dan sempat “mendekam” hampir sebulan di markas Korem
011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Karena dianggap kegiatannya membantu
musuh.Korem 001/Lilawangsa tidak mengetahui mereka adalah satuan intelejen,
tapi diketahui sebagai pekerja LSM dan wartawan. Makanya mereka
“mendekam” dalam jeruji besi. Inspirasi yang harus saya bagi dalam momentum 11 tahun MoU
Helsinki, yang dicatat adalah sebuah langkah berani penanganan konflik
Aceh melalui pendekatan yang sangat bermartabat dari satuan intelejen
sudah mulai digagas sejak dahulu.
Kisah fakta di atas,merefleksikan sebuah fenomena di tengah-tengah
situasi Konflik, namun tersirat masih adanya obsesi yang mengedepankan
semangat persaudaraan sebangsa dan setanah air serta keinginan merajut
damai Aceh melalui pendekatan kemanusiaan. Pada kesempatan lain, perwira berpangkat Kapten saat itu mengatakan
bahwa Aceh merupakan bagian organ vital dari tubuh Republik Indonesia,
mustahil jika kami datang untuk membunuh organ vital, karena jika itu
dilakukan, maka orang Aceh mati dan Indonesia menderita cacat permanen
seumur hidup.
Oleh karenanya perdamaian yang saat ini terwujud di Aceh,
sesungguhnya merupakan sumbangsih dari semua elemen bangsa termasuk
prajurit TNI.
Cerita yang tercecer di atas adalah, sosok seorang perwira intelejen
TNI yang saat ini berpangkat kolonel, dan tetap setia menjalani tugasnya
di Aceh sampai saat ini. Karena menurutnya, Aceh adalah sekolah
kehidupan menuju surgawi. Selamat bertugas Kolonel Radjasa, terimakasih atas pengabdian dan kecintaanya terhadap Aceh. Semoga Allah swt selalu memberikan kebaikandalam menjalani
tugas.Karena sekecil apapun kebaikan tak pernah bisa binasa, dan sebesar
apapun kejahatan tak akan pernah bisa kuasa. [SAFRUDIN BUDIMAN, Saksi Hidup Perdamaian Aceh]