BANDA ACEH – Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang terpilih nantinya diharapkan benar-benar memahami persoalan dan berani mengungkap kebenaran dari pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik. Panitia Seleksi Calon Komisioner KKR diharapkan bekerja maksimal untuk memilih calon-calon yang dinilai layak dan memiliki kompetensi.
Hal demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI HM Nasir Jamil pada seminar Manfaat KKR bagi korban Konflik Aceh di Aula Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh, Senin, 9 Mei 2016.
Nasir mengatakan lembaga KKR bukanlah institusi penegak hukum dan karenanya tak memiliki kewenangan memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan HAM pada masa konflik Aceh. Hanya saja, menurutnya, keberadaan KKR sebagai lembaga yang bertugas mengungkapkan fakta-fakta kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM tersebut memiliki kepentingan dalam memberikan rekomendasi bagi pemerintah dalam mengambil langkah-langkah hukum.
“Apabila pelaku pelanggaran HAM mengakui kesalahan atas perbuatannya dan mengakui kebenaran fakta-fakta serta menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia tersebut dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden,” ujarnya.
Nasir menambahkan pembentukan KKR merupakan bentuk penghormatan negara terhadap daerah-daerah yang telah diberikan ketentuan otonomi khusus seperti Aceh saat ini, sehingga problematika keberadaan KKR dapat terselesaikan secara tuntas.
“Untuk diketahui juga tidak mudah ini poin KKR ini waktu kami bahas dan masukkan dalam UUPA, karena adanya kekhawatiran dari banyak pihak dengan keberadaan KKR ini,” lanjutnya.
Sementara itu ketua Tim Pansel KKR Faisal Hadi menyebutkan proses penjaringan komisioner KKR akan diupayakan selesai dalam bulan ini, selanjutnya Pansel akan menyerahkan 21 nama terpilih kepada pihak Komisi I DPR Acceh untuk dilakukan fit and proper test guna memilih 7 orang anggota Komisioner KKR.....
Abu Tumin Blang Bladeh: Ingin Memperbaiki Daerah, Ulama Tidak Mesti Jadi Bupati
Senin, 09 Mei 2016 21:57 WIB
BIREUEN - Ulama kharismtaik Abu H Muhammad
Amin Blang Bladeh yang akrab disapa Abu Tumin mengaku terkejut mendengar
kabar adanya seorang ulama yang ingin mencaloankan diri jadi Bupati
Bireuen pada Pilkada 2017 mendatang.
Menurut Abu Tumin, untuk memperbaiki pemarintah daerah, seorang ulama tidak harus menjadi bupati. "Terus terang saya terkejut saat mengetahui ada seorang ulama di Bireuen yang maju di Pilkada mendatang. Bila niat ingin melakukan perubahan kepada masyarakat di daerah, tentu tidak harus menjadi seorang bupati," katanya kepada GoAceh.co, Senin (9/5/2016).
Dikatakan Abu Tumin, kalau sudah masuk ke birokrasi pemerintahan, seorang ulama akan memiliki beban besar saat mengambil keputusan dan kebijakan karena akan berdampak ke masyarakat secara luas.
"Untuk itu saya sangat berharap agar niat untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Bireuen itu agar tidak dilanjutkan. Masyarakat selama ini telah menjadikan ulama sebagai pemimpin agama, jadi rujukan umat dalam berbagai aktifitas kehidupan," katanya.
Ditambahkannya, dalam pemerintahan Aceh sejak jaman dulu, ulama memiliki peran penting, tapi bukan sebagai pemimpin seperti gubernur atau bupati. Ulama jadi rujukan umat dalam menghadapi semua tantangan.
Dari pengalaman hidup, kata Abu Tumin, baik semasa penjajahan Belanda, Jepang hingga negeri ini merdeka, belum ada ulama yang berusaha untuk duduk di pemarintahan. Termasuk saat Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.
“Pada hakikatnya, selama ini ulama adalah mitra kerja pemerintah Aceh. Merumuskan fatwa-fatwa hukum berkenaan dengan segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat dan sebaliknya pemerintah juga harus senergi dengan ulama,” katanya.
Disinggung tentang pilihannya untuk Bupati Bireuen mendatang, Abu Tumin mengaku secara pribadi dirinya tetap ingin agar Ruslan M Daud dipercayakan kembali untuk memimpin Bireuen.
“Saya pribadi mendukung bupati sekarang dan memberikan kepercayaan sekali lagi agar dapat memimpin Bireuen, sehingga pondasi yang telah terbangun, baik di daerah maupun pusat dapat dijajaki kembali dengan mudah,” katanya.
Terlepas dari berbagai persoalan selama ini, karena untuk mengubah sesuatu yang lebih baik terutama pembangunan dan berbagai hal di daerah, tentu butuh dukungan semua kalangan termasuk dari ulama sendiri, pangkasnya. (jon)
Menurut Abu Tumin, untuk memperbaiki pemarintah daerah, seorang ulama tidak harus menjadi bupati. "Terus terang saya terkejut saat mengetahui ada seorang ulama di Bireuen yang maju di Pilkada mendatang. Bila niat ingin melakukan perubahan kepada masyarakat di daerah, tentu tidak harus menjadi seorang bupati," katanya kepada GoAceh.co, Senin (9/5/2016).
Dikatakan Abu Tumin, kalau sudah masuk ke birokrasi pemerintahan, seorang ulama akan memiliki beban besar saat mengambil keputusan dan kebijakan karena akan berdampak ke masyarakat secara luas.
"Untuk itu saya sangat berharap agar niat untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Bireuen itu agar tidak dilanjutkan. Masyarakat selama ini telah menjadikan ulama sebagai pemimpin agama, jadi rujukan umat dalam berbagai aktifitas kehidupan," katanya.
Ditambahkannya, dalam pemerintahan Aceh sejak jaman dulu, ulama memiliki peran penting, tapi bukan sebagai pemimpin seperti gubernur atau bupati. Ulama jadi rujukan umat dalam menghadapi semua tantangan.
Dari pengalaman hidup, kata Abu Tumin, baik semasa penjajahan Belanda, Jepang hingga negeri ini merdeka, belum ada ulama yang berusaha untuk duduk di pemarintahan. Termasuk saat Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.
“Pada hakikatnya, selama ini ulama adalah mitra kerja pemerintah Aceh. Merumuskan fatwa-fatwa hukum berkenaan dengan segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat dan sebaliknya pemerintah juga harus senergi dengan ulama,” katanya.
Disinggung tentang pilihannya untuk Bupati Bireuen mendatang, Abu Tumin mengaku secara pribadi dirinya tetap ingin agar Ruslan M Daud dipercayakan kembali untuk memimpin Bireuen.
“Saya pribadi mendukung bupati sekarang dan memberikan kepercayaan sekali lagi agar dapat memimpin Bireuen, sehingga pondasi yang telah terbangun, baik di daerah maupun pusat dapat dijajaki kembali dengan mudah,” katanya.
Terlepas dari berbagai persoalan selama ini, karena untuk mengubah sesuatu yang lebih baik terutama pembangunan dan berbagai hal di daerah, tentu butuh dukungan semua kalangan termasuk dari ulama sendiri, pangkasnya. (jon)