Media-Andesdi - TAHUN 1998 status Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) dicabut
oleh pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan diumumkan oleh Jenderal
Wiranto sebagai panglima TNI. Setelah itu, bermacam kejahatan aparat di
Aceh terbongkar. Pemerintah pun akhirnya melakukan berbagai upaya untuk
membongkar kebiadaban selama operasi militer, salah satunya Tim Pencari
Fakta (TPF) yang dipimpin Baharuddin Lopa. Di Aceh saat itu
semangat civil society tumbuh dan mekar. Seluruh rakyat Aceh menjadi
pendukung perjuangan. Pelbagai organisasi dibentuk untuk membela rakyat
Aceh dan memperjuangkan aspirasi. Para korban didampingi dan diadvokasi.GAM juga menjadi terbuka dan bekerjasama dengan berbagai
organisasi yang ada, perempuan, pemuda dan pelajar demikian juga
diaspora di luar negeri. Mahasiswa/mahasiswi di pelbagai kampus berdiri
paling depan dalam perjuangan ini. Selain semangat keacehan yang
menyala setelah DOM dicabut, faktor personal beberapa pemimpin
perjuangan di lapangan menjadi daya tarik yang luar biasa. Nama-nama seperti Ishak Daud di Peureulak, Ayah Sofyan di Aceh Besar,
Sofyan Daud di Pasee, demikian juga Tengku Sofyan Ibrahim Tiba, Cut
Nurasikin, adalah di antara nama-nama yang pernah menjadi magnet bagi
masyarakat untuk mendukung Aceh Merdeka. Salah satu magnet yang
sangat besar saat itu adalah Teungku Lah. Teungku Abdullah Syafi’ie.
Ramai sekali orang yang mendukung Aceh Merdeka karena kagum akan sosok
Teungku Lah. Teungku Lah mudah dihubungi oleh berbagai pihak,
walaupun mengemban jabatan sebagai panglima tertinggi Angkatan Gerakan
Aceh Merdeka, Panglima Chiek Komando Pusat Tiro.
Suara beliau
yang lembut, ketika berbicara di depan media tidak ada nada sombong di
suara. Kesederhanaan terpatri jelas di mukanya. Hampir semua yang
mengikuti konflik Aceh di media, terkesima dengan sosok Teungku Lah.
Sosok yang tegas, ramah, dan membangkitkan semangat. Sosok
Teungku Lah dan semua pasukan GAM di lapangan menjadi salah satu
kekuatan GAM dalam perundingan yang sedang berlangsung di Jenewa. Saat
itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mematahkan semangat
perjuangan dan melemahkan mental para perunding, salahsatunya dengan
melakukan pengejaran besar-besaran atas Teungku Lah dan pasukan beliau. Saat itu GAM dan pemerintah Indonesia setelah serangkaian pertemuan
yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), pada tanggal 14
Januari 2002, kedua-belah pihak sepakat untuk kembali bertemu di Jenewa
pada tanggal 2-3 Februari tahun itu juga. Masa-masa kosong antara
pertemuan 14 Januari dan 2 Februari ini, dipergunakan oleh pemerintah
untuk meningkatkan operasi di Aceh guna melemahkan daya tawar perunding
GAM dan memaksa untuk menerima semua syarat yang diajukan oleh RI.
Pertemuan Februari ini hampir saja gagal setelah pertempuran yang
menewaskan Teungku Abdullah Syafi’ie pada tanggal 22 Januari. Namun
syahidnya Teungku Lah bukan mematahkan semangat, melainkan GAM semakin
solid dan tetap melanjutkan pertemuan sesuai dengan jadwal yang
disepakati. Komitmen GAM untuk melanjutkan perundingan sesuai
dengan jadwal yang disepakati, mendapat simpati dari HDC dan dunia
internasional, juga membuat pemerintah Indonesia gagal untuk menyudutkan
GAM dengan provokasi kekerasan. Pimpinan HDC, Andy Andrea sampai
sempat menyampaikan statement yang menyatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan pemerintah sudah menghancurkan rasa saling percaya kedua belah
pihak. “This comes at a very difficult time for both sides, because confidence has been damaged by the unacceptably high level of violence,” demikian disampaikan Mr. Andrea saat itu. Saat itu pimpinan di Swedia sedang sibuk dengan berbagai pertemuan
untuk persiapan perundingan di Jenewa pada tanggal yang telah
disepakati. Semua pihak yang mendukung GAM di dalam dan luar negeri juga
mendapat tugas masing-masing. Ada harapan bahwa perdamaian dan
perundingan akan menghasilkan hal-hal yang positif untuk Aceh karena
pertemuan selanjutkan akan melibatkan beberapa tokoh internasional yang
dikenal dengan nama ‘wise men‘.
Hari itu, Selasa tanggal 22
Januari, kami di Bangkok mendapat informasi bahwa TNI/Polri melakukan
pengepungan di seluruh Aceh, khususnya kawasan Pidie. Hari itu kami
sempat mengirimkan email kepada kawan-kawan di lapangan untuk menanyakan
keadaan. Ada balasan email dari Irwandi Yusuf atas nama Sofyan Daud,
mengirimkan ‘laporan insiden’ di beberapa tempat tentang ancaman TNI
Yonif 411 Kostrad atas masyarakat di Simpang Kramat, Kuta Makmur dan
berita tentang empat truk Reo penuh personil TNI yang diturunkan di
Batee Lapan Simpang Kramat, belum dikirim informasi tentang penyerangan
kawasan Jiem-jiem, Pidie. Malamnya, kami mendapat berita tentang
syahidnya Teungku Lah. Besok harinya, baru dapat informasi dan statement
dari Sofyan Dawood, bahwa benar Teungku Lah, istri beliau Asiah, dan 5
pengawal telah syahid di dalam pertempuran di desa Sarah Panyang,
Jiem-jiem Pidie, pada hari Kamis 22 Januari pukul 14.30. Kami
langsung menyebarkan press release tersebut ke semua jaringan. Ada duka
yang sangat mendalam ketika mendengar tentang kehilangan beliau. Kalau
menurut kata hati, mestinya GAM saat itu sok-mok, membatalkan semua
pertemuan selanjutnya yang telah disepakati. Tapi itulah perangkap
pemerintah untuk menuding GAM seolah-olah tidak mau berunding, sehingga
dikucilkan dunia internasional.
Tidak perlu waktu lama, beberapa
hari setelah itu, setelah pertimbangan yang matang berdasarkan masukan
dari lapangan, GAM berkomitmen untuk hadir di dalam pertemuan di Jenewa
sesuai dengan yang telah diagendakan. Komitmen GAM untuk
melanjutkan perundingan juga disebabkan antara lain, bahwa syahidnya
Teungku Lah tidak mematahkan semangat pasukan, dalam rentang waktu 24
jam, tongkat komando dialihkan kepada wakil panglima Muzakir Manaf yang
saat itu menjabat sebagai panglima Wilayah Pasee. Kemudian adanya
kehadiran ‘wise men‘ dalam memperkuat tim mediator HDC, membawa
keyakinan kepada GAM bahwa dunia sudah tidak lagi bersikap tutup mata
atas apa yang terjadi di Aceh. Pascasyahid Teungku Lah,
perundingan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain Penghentian
Permusuhan (Cessation of Hostilities) pada 2002 namun tidak semua
kesepakatan ini berhasil dilaksanakan sesuai yang disepakati. Syahidnya seorang panglima memang menyisakan banyak cerita dan dugaan. Bermacam kabar kita dengar tentang kisah di balik meninggalnya Tengku Lah dari pelbagai pihak. Ada yang menduga bahwa kepergian Tengku Lah karena intrigue dalam
pasukan dan sebagainya.
Namun, dari semua kisah dan cerita, semua orang
yang mengenal Teungku Lah, semua merasa kehilangan atas kepergian
beliau. Ada juga kisah bahwa syahidnya beliau, di belakangnya ada
andil pemerintah daerah. Bahwa gubernur saat itu mengirimkan sebuah
surat undangan, dan di amplop surat tersebut dipasang alat diduga
microchip untuk mendeteksi posisi keberadaan Tengku Lah. Juru bicara
militer GAM saat itu juga menyampaikan hal yang terakhir ini di dalam
rilisnya beberapa hari setelah Teungku Lah pergi. Ada pelajaran
yang bisa diambil dalam tragedi syahid Teungku Lah yang berhubungan
dengan Aceh dan Jakarta, bahwa di saat perundingan sedang dilaksanakan,
saat negosiasi sedang berjalan, ada pasukan pemerintah yang bertugas
sebaliknya, menyerang dan menyerbu untuk melemahkan. Hal serupa
masih terjadi saat ini di beberapa tempat seperti di Papua, di dalam
berita, pemerintah berjanji akan menyelesaikan konflik dengan cara
dialog dan dengan jalan politik, sedangkan di lapangan, tentara dan
polisi melakukan operasi, business as usual. Ini tantangan untuk
pemerintah sipil di negara ini untuk benar-benar bisa mengontrol
kelakuan aparat dan militer, sebab supremasi sipil harus ditegakkan
dalam pemerintahan negara ini. Alfatihah: Semoga Allah meluaskan kubur Tengku Lah dan semua syuhada. Aamiin.....